January 24, 2011

Urusan Transaksional yang berkelamaan hambatan Efektivitas Representatif

Efektivitas Pemerintahan

Urusan Transaksional yang berkelamaan hambatan Efektivitas Representatif

Mensinergikan Eksekutif dan Legislatif

Partai Politik & Sistem Pemilu


A. Pengatar "Eksekutif dan Legislatif yang Terpisah"

Perwakilan Politik adalah aktivitas yang membuat suara, opini dan pandangan hadir dalam proses pembuatan kebijakan. Ini berarti penerjemahan preferensi-preferensi publik kedalam kebijkan yang dilakukan oleh pejabat (yang dipiluh) dan agen. Representasi politik terjadi ketika aktor politik berbicara, membela, symbol dan bertindak dalam kepentingan publik di arena politik. Dewasa ini anggota dewan perwakilan rakyat pada umumnya mewakili rakyat melalui partai politik, yang berarti mewakili preferensi-prefensi publik.

Salah satu unsur penting dalam representasi politik ini adalah partai politik. Fungsi penting partai politik dalam perwakilan adalah bagaimana prefensi-prefensi publik atau masyarakat dapat disalurkan, ditampung, dan diterjemahkan ke dalam kebijakan. Tentu terdapat bebagai perbedaan karena pluralnya partai politik menerjamahkan prefensi publik.

Karena partai politik melaksanakan fungsi representasi politik dari rakyat, yaitu memahami dan merumuskan aspirasi dan kepentingan rakyat menjadi alternatif kebijakan publik. Dengan demikian, sistem kepartaian harus match dengan struktur masyarakat dan konstitusinya. Oleh karena itu partai politik sering dilihat sebagai jembatan antara masyarakat dan negara.

Sudut pandang normatif, peranan partai politik amat penting bagi proses politik. Keberadaan partai politik merupakan faktor penting bagi pemenuhan kepentingan kelompok masyarakat yang majemuk. Partai politiklah yang menyampaikan informasi rakyat kepada pemerintah, mengartikulaskan kepentingan dan merekrut para calon untuk jabatan politik. Sebaliknya dari sudut umpan balik mereka membantu memastikan bahwa pembuatan peraturan legislatif sudah tepat dan diterapkan dengan baik. Bahkan sebagai penyalur aspirasi rakyat, partai politik sekaligus melaksanakan fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan. Di sini partai politik juga melakukan peran sebagai jembatan antara pemerintah dan masyarakat. Di sini terlihat pentingnya posisi partai politik dalam proses demokratisasi bangsa dan sekaligus membangun sistem politik yang lebih baik di masa mendatang.

Sebuah aspirasi pemilih dipandang terepresentasikan bila apa yang dikehendaki pemilih kurang lebih sama dengan yang disikapi dan dilakukan oleh partai dan elit dalam membuat kebijakan-kebijakan publik. Partai politik adalah salah satu lembaga paling penting yang secara normatif berperan untuk merepresentasikan aspirasi pemilih.

Dewasa ini, kepercayaan rakyat terhadap partai politik semakin memudar karena partai politik tidak mampu melaksanakan fungsinya asali. Disebut fungsi asali karena partai politik dibentuk pertama dan terutama untuk melaksanakan fungsi representasi rakyat alias menjadi jembatan masyarakat dan negara (Ramlan Surbakti, Harian Kompas 27 Desember).

Wakil dalam partai politik terdapat kecenderungan untuk mementingkan urusan bagaimana pada periode berikutnya bisa terpilih kemmbali dari pada melaksanakan tugas-tugas apa yang diharapkan oleh rakyat. Di parlemen seolah-olah menjadi sebuah tempat kompetisi untuk mendapatkan dan merebut hati rakyat. Ketika tidak mampu meningkatakan kinerja mereka, kenapa tidak menurunkan kinerja pesaingnya (antar wakil)?.

Jegal-menjegal tidak hanya pada lingkup legislatif antar wakil yang berbeda partai, namun juga terjadi pada eksekutif dan legislatif dimana kepala eksekutif (presiden) yang memiliki partai besar belum tentu mendapatkan mayoritas di DPR. Disatu sisi menghendai peraturan-peraturan yang efektif untuk mengatasi persoalan rakyat, disatu sisi malah peraturan tersebut dipermasalahkan.

Kolaisi yang terbentuk masih sangat belum jelas. Yang seharusnya memperjuangkan suara rakyat, malah sibuk untuk mengurus kepentingan sendiri berkedok mengurus kepentingan rakyat. Tentu hal ini berimplikasi dengan jalannya pemerintahan kedepannya, pertanyaan pertama adalah bagaimana partai politik mendapatkan kepercayaan terhadap rakyat ?. mengingat partai politik merupakan unsur utama dalam pembentukan pemerintahan.

Ironis memang, dewasa ini bisa kita lihat juga pemerintah yang dihasilkan lewat pemilihan kepala daerah langsung dikeluhakan oleh banyak orang tidak bisa bekerja efektif. Situasi ini karena setiap kebijakan yang disusun kepala daerah harus dinegosiasikan dengan DPRD. Padahal, banyak kepala daerah terpilih tidak memiliki kaitan dengan konfigurasi kekuatan politik di DPRD. Tawar-menawar di DPRD pun berjalan alot dan bertele-tele. Tarik menarik yang kuat antara eksekutif dan legislatif juga terjadi di tingkat pusat. Seperti terjadi di daerah, pemerintahan pusat pun menjadi tidak efektif, rakyat akhirnya menderita karena pemerintah yang terbentuk sibuk bernegosiasi dengan parlemen entah karena sibuk tawar menawar keuntungan atau benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat.

Anggota DPR kali ini dipilih melalui Pemilu yang katanya paling demokratis sepanjang sejarah Indonesia. Pemilu ini diikuti oleh hampir seluruh rakyat untuk mewakili suara kita agar dapat diwujudkan dalam berbagai peraturan yang melindungi kepentingan rakyat dan pengawasan terhadap pemerintah. Karena itu, kalau terjadi keprihatinan atas kinerja anggota DPR, kita juga harus menyentuh masalah mendasar mengapa hal itu dapat terjadi.

Untuk itulah persoalan pemilihan umum sebagai sarana rekruitmen para anggota wakil rakyat menjadi penting. Tujuannya agar dimasa mendatang, melalui format Pemilu yang lebih baik, kita akan memperoleh wakil rakyat yang lebih bersungguh-sungguh memperjuangkan kepentingan rakyat dan dapat mewakili suara kita dan tidak hanya terjebak pada urusan-urusan transaksional yang berlarutlarut yang sangat melelahkan.

Sehingga pertanyaannya adalah "Bagaimana menciptakan pemerintahan yang efektif menyelesaikan persoalan rakyat. Partai Politik dapat mendapatkan kepercayaannya (karena esensi penting dalam perwakilan), dan wakil tidak terjebak pada urusan-urusan transaksional yang membuat responsitas pemerintah lambat terhadap rakyatnya. Bagaimana menciptakan suasana dimana partai politik dapat berperan efektif sebagai jembatan antara rakyat dan pemerintahan, bagaimana menciptakan senergi antara eksekutif dan legislatif, sehingga dengan efektif menghasilkan kebijakan-kebijakan yang solutif untuk permasalahan rakyat dan menjadi Representative yang efektif".


A. Penyebab masalah Perwakilan "Partai Politik & Sistem Pemilu"

Soal Partai Politik

Sebuah aspirasi pemilih dipandang terrepresentasikan bila apa yang dikehendaki pemilih kurang lebih sama dengan yang disikapi dan dilakukan oleh partai dan elit dalam membuat kebijakan-kebijakan publik. Partai politik adalah salah satu lembaga paling penting yang secara normatif berperan untuk merepresentasikan aspirasi pemilih.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh LSI (Lingkar Survei Indonesia) tahun 2007, ditemukan bahwa ada kesenjangan yang cukup besar (65 %) antara aspirasi pemilih dengan sikap dan tindakan partai politik sebagaimana dipersepsikan pemilih untuk berbagai isu publik: posisi kelas sosial, isu ideologi dan sistem legal, dan isu ideologi. Hanya sekitar 35 % aspirasi pemilih yang dipersepsikan terwakili oleh sikap dan perilaku partai politik. Dalam proporsisi kurang lebih sama, pemilih merasa bahwa partai politik sejauh ini lebih banyak melakukan tindakan yang hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu, dan hanya menguntungkan para pemimpin partai, bukan pemilih pada umumnya.

Tidak heran, dewasa ini partai politik lebih menonjol sebagai sumber permasalahn daripada solusi karena tidak mampu melaksanakan fungsi representasi tersebut, berikut sejumlah fenomena politik yang menjadi bukti permasalahan tersebut (Ramlan Surbakti: Harian Kompas 27 Desember).

Pertama, partai politik lebih menonjol sebagai sarana pengurus partai memobilisasi dukungan rakyat untuk mendapatkan kursi daripada menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Partai politik lebih banyak menjadi alat mobilisasi pemili demi kepentingan pengurus dari pada kepentingan rakyat. Partai politik peserta pemilu, khususnya yang memiliki kursi di DPR/DPRD lebih mengklaim melaksanakan representasi politik. Berbagai gerakan baru, seperti lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial, organisasi keagamaan, dan sejumlah tokoh, justru lebih banyak mewujudkan aspirasi rakyat menjadi nyata.

Kedua, rakyat Indonesia dapat disebut sebaga berperilaku pemilih bergejolak (volatile voting behavior). Perolehan suara partai pemenang pemilu 30 persen berbeda dari satu pemilu ke pemilu berikutnya. Ini karena jumlah swingging voters (pemilih yang berganti pilihan dari satu pemiluh ke pemilu berkutnya) diperkirakan mencapai 35 %.

Ketiga, jumlah partai politik peserta pemiluh masih terlalu banyak: dimana pada pemilu 2009 terdapat 38 partai peserta pemilu, yang secara ideologis tidak memiliki perbedaan jelas. Fenomena kudua dan ketiga ini terjadi antara lain karena kepercayaan rakyat kepada partai semakin memudar.

Keempat, kegiatan para pengurus partai lebih banyak didorong oleh "pragmatisme" (motovasi mendapatkan kedudukan, uang, vasilitas dan seterusnya) daripada ideologi (visi, misi, dan program) partai mengenai negara dan masyarakat yang hendak diwujudkan.

Dalam realitasnya, terdapat dilematisasi antara kepentingan-kepentingan wakil dalam partai politik untuk terpilih kembali dan juga berkepentigan untuk diotorisasikan sebagai wakil oleh rakyat. Untuk dicalonkan dan terpilih kembali lebih penting dari pada menjalankan tugas-tugas yang diinginkan oleh konstituen.

Disatu sisi wakil harus memelihara kepercayaan pemili yang membutuhkannya untuk melaksanakan tugas-tugas, disisi lain juga harus tampak loyal terhadap partai yang penuh persoalan internal. Hal ini dapat dijelaskan melalui Teori Agensi dan Model Delegasi. Bahwa wakil memiliki seperangkat peran atau hubungan peran-peran yang komplementer yang dijalankan seseorang yang menduduki Satu status tertentu. Bagaimana wakil atau anggota parlemen berhubungan dengan partainya, dengan pemilihnya, dan dengan pemerintah. Padahal setiap komponen memikki preferensi yang spesifik, yang tak selalu saling mendukung.

Hal tersebut membutat adanya jarak yang jauh antara intitusi-institusi negara dengan kehidupan real masyarakat. Masalahnya adalah kembali lagi bagamana membuat jembatan antara institusi-institusi negara dengan kehidupan real masyarakat agar tersentu. Disini lah fungsi wakil itu seharusnya berfungsi. Karena kebanyakan wakil sangat bertumpu pada partai politik, maka soslusi yang diusahakan juga berawal dari bagaimana menciptakan partai politik yang bersinergi dengan rakyat.


Soal Sistem Pemilu

Apabila melihat sistem kepartaian dan pemilihan umum negara kita lebih condong ke arah Parlementer, tapi konstitusi Indonesia menolak Parlementer dan menekankan kepada Presidensial. Dimana posisi legislatif dan eksekutif sama kuat sehingga terdapat negosiasi-negosiasi dan tawar menawar kepentingan yang sangat kuat.

Tawar-menawar di DPR cenderung berjalan alot dan bertele-tele. Tarik menarik yang kuat antara eksekutif dan legislatif juga terjadi di tingkat pusat. Seperti terjadi di daerah, pemerintahan pusat pun menjadi tidak efektif, rakyat akhirnya menderita karena pemerintah yang terbentuk sibuk bernegosiasi dengan parlemen entah karena sibuk tawar menawar keuntungan atau benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat.

Hal ini merupakan imbas dari pemerintahan presidensialisme yaitu terjadinya pemerintahan terpisah (divided government), yakni ketika presiden tidak mendapat dukungan mayoritas parlemen, atau ketika presiden dari satu partai, tetapi parolemen didominasi partai yang berbeda, (LSM kemitraan).

Kondisi empiris saat ini, tidak ada partai politik yang menguasai secara mayoritas dalam perwakilan, bukan berarti tidak mungkin. Hal ini bisa dilihat dalam pemilu kemarin bahwa partai politik masih belum stabil, selalu ada pergeseran-pergeseran dalam partai politik. Imbasnya proses-proses transaksional yang berkepanjangan karena berbagai macam kepentingan partai politk berada dalam situ dan cenderung tidak efektif. Terdapat tarik ulur kepentingan disana antara eksekutif yang mencoba melaksanakan dan membuat kebijakannya dan legislatif yang mencoba untuk mempermasalahkan kebijakan tersebut (pelaksanaan, anggaran, dan pengawasan) sehingga cenderung terjadi Transakasional yang berkepanjangan. Jika fungsi DPR adalah legislasi, anggaran, dan pengawasan, maka transasksi akan berlangsung di sekitar pelaksanaan fungsi tersebut.

Negosiasi memang penting, namun apabila berlangsung berlama-lama dan mempersoalkan persolana yang tidak seharusnya dipermasalahkan (kepentingan-kepentingan politis didalamanya) maka akan menjadi tidak efektif. Pertanyaannya adalah, bagaimana mensinergikan antara Eksekutif dan Legislatif (dalam artian positif). Dalam Logika demokrasi hal ini dapat dijelaskan dengan simpel melalui pendekatan Elitis. Elit-Elit disatukan melalui konsensus maka tercipta stabilitas politik yang berimplikasi pada Pemerintahan Demokratis Perwakilan. Selanjutanya bagaimana mencapai konsensus ? apanya yang diusahakan bersatu ?





B. Mengembalikan Kepercayaan Partai Politik & Keluar dari keberlmaan Transaksional

Solusi Partai Politik

Kelemahan partai politik melaksanakan fungsi representasi menjadi salah satu titik lemah demokrasi indonesia. Karena itu perlu ditempuh berbagai cara untuk menjadikan partai politik sebagai organisasi yang dimilikidan dikendalikan oleh para anggota dan simpatisan pada tingkat lokal sekaligus melaksanakn fungsi representasi politik.

Dalam harian Kompas, 27 Desember Ramlan Surbakti merumuskan Sistem kompetisi parta politik peserta pemilu sebagai solusi. Yang diusulkan adalah empat kategori partai politik, tetapi hanya tiga kategori partai politik peserta pemilu.

1. Disebut partai politik adalah karena memiliki status badan hukum sebagai partai politik dari kementrian Hukum dan HAM, tetapi belum dapat menjadi peserta pemilu atau tidak mendaftarkan diri sebagai peserta pemilu.

2. disebut Partai politik peserta pemilu lingkup kabupaten/kota karena hanya dapat menjadi peserta pemilu anggota DPRD kabupaten/kota saja. Partai ini baru saja ditetapkan oleh KPU sebagai peserta pemilu karena telah memenuhi persyaratan dalam UU. Akan tetapi, partai politik ini dapat mengikuti pemilu anggota DPRD kabupaten/kota hanya di kabupaten/kota wilayah partai ini memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam UU.

3. disebut partai politik peserta pemilu lingkup provinsi yang dapat menjadi peserta pemilu anggota DPRD kabupaten/kota dan pemilu anggota DPRD provinsi.

4. disebut partai politik peserta pemilu lingkup nasional dapat menjadi peserta pemilu anggota DPRD kabupaten/kota, pemilu anggota DPRD provinsi, dan pemilu anggota DPR.

Konkretnya, untuk pemilu berikutnya kategorisasi P4 (partai politik peserta pemulu) diusulkan sebagai berikut. Pertama, P4 lingkup nasional adalah (1) sembilan partai politik yang memenuhi ambang batas masuk DPR, dan (2) P4 Pemilu 2009 yang tidak memenuhi ambang batas masuk DPR, tetapi memiliki kursi di minimal 2/3 (dua pertiga) DPRD provinsi.

Kedua, P4 lingkup provinsi adalah P4 Pemilu 2009 yang tidak memenuhi ambang batas masuk DPR dan tidak memiliki kursi di minimal 2/3 (dua pertiga) DPRD provinsi, tetapi memiliki kursi di sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) DPRD kabupaten/kota di minimal 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi.

Ketiga, P4 lingkup kabupaten/kota adalah P4 pada Pemilu 2009 yang tidak memenuhi ambang batas masuk DPR, tidak memiliki kursi di minimal 2/3 DPRD provinsi, dan tidak memiliki kursi di minimal 2/3 DPRD kabupaten/kota di minimal 2/3 provinsi; dan P4 baru yang ditetapkan oleh KPU, tetapi hanya dapat menjadi peserta pemilu anggota DPRD kabupaten/kota di kabupaten/kota di mana partai politik tersebut memenuhi persyaratan sesuai undang-undang.

Selain menciptakan sistem kompetisi yang transparan dan kompetitif berdasarkan kepercayaan dan dukungan pemilih, sistem kompetisi P4 ini juga hendak mencapai sejumlah tujuan.

Pertama, memaksa partai politik peserta pemilu berkiprah pada tingkat akar rumput sehingga menjadi sarana aspirasi rakyat (melaksanakan fungsi representasi politik). Dengan demikian, fungsi lain partai politik seperti pendidikan politik, perekrutan, kaderisasi, dan iuran anggota akan terlaksana. Kedua, memaksa partai politik berkompetisi secara adil. Ketiga, memulihkan kepercayaan rakyat kepada partai politik sehingga mengurangi fenomena volatile voting behavior. Keempat, menyederhanakan surat suara sehingga memudahkan pemilih. Kelima, mencegah upaya coba-coba para politikus mendirikan partai agar jadi peserta pemilu, sekaligus mencegah para petualang politik berusaha di ranah publik.


Solusi Sistem Pemilu

Selanjutnya pada permasalahan sistem pemilu, atas dasar sebelumnya itu LSM kemitraan mengusulkan perubahan penyelenggaraan pemilu agar pemerintahan yang terbentuk bisa bekerja efektif. Menurut mereka, variabel waktu penyelenggaraan pemilu menjadi faktor penting guna menghindari terjadinya pemerintahan terpisah. Hal ini bisa berimplikasi pada transaksional yang berkepanjangan di dalam pembentukan suatu kebijakan.

Berdasarkan pengalaman-pengalaman negara penganut presidensialisme, jika pemilu legislatif dilakukan bersamaan dengan pemilu presiden, presiden terpilih akan diikuti mayoritas diparlemen. Kemitraan pun mengusulkan pemilihan anggota DPR dan DPD dilakukan bersamaan dengan pemilihan presiden. Semuanya dijadikan satu paket dan disebut sebagain Pemilu Nasional.

Dasar serupa diterapakan untuk menghindari pemerintahan terpisah di level lokal. Pemilihan di DPRD digelar bersama dengan pemilihan kepala daerah dan disebut pemiluh daerah. Pemiluh ini dilakukan serentak untuk memilih anggota DPRD dan kepala daerah se-Indonesia.

Dengan demikian diharapkan dapat membentuk koalisi yang jelas antara partai-partai peserta pemilu dalam hubungannya dengan legislatif-eksekutif. Urusan-urusan transaksional diharapkan tidak berkepanjangan.


Karena dua solusi ini belum teruji apakah cocok di terapkan di indonesia atau tidak pasti ada kendalam dalam sosialisasi dengan anggota dewan tentang rancangan permasalahan ini. Partai politik baru yang biasanya dengan mudah mencoba peruntungan di kaca Nasional, maka harus memulai di tingkat lokal, kemungkinan dianggap menghambat partai politk baru untuk berkembang.

Karena pemilu legislatif dan eksekutif dilakukan bersama-sama yang memungkinkan terbentuknya koalisi yang efektif dalam hubungannya eksekutif-legislatif maka akan menimbulkan ketakutan apakah tidak menimbulkan pemerintahan yang sentralistik ?.



DAFTAR PUSTAKA



Lingkar Survei Indonesia. 2007. Tiga Tahun Partai Politik : Masalah Representasi Aspirasi Pemilih. www.lsi.or.id.


Priyatmoko. 2010. Bahan Ajar : Bagaimana menjelaskan Prilaku Legislatif. Surabaya : FISIP Universita Airlangga.


Surbakti, Ramlan. 2010. Harian Kompas : Sistem Kompetisi Parpol. Harian Kompas edisi 27 Desember.