April 28, 2011

Desentralisasi Politik (Devolusi) dan Desentralisasi Fiskal (Hubungan dan Contoh Kasus)

Desentralisasi Politik dan Fiskal
Desentralisasi sesungguhnya merupakan alat atu instrument yang dapat digunakan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang efektif dan partisipatif (Tanzi, 2002). Secara garis besar, pengertian desentralisasi dibedakan dalam tiga jenis sebagai berikut (Litvack, 1999) :
· Desentralisasi Politik, Pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada daerah yang menyangkut aspek pengambilan keputusan, termasuk penetapan standard dan berbagai peraturan.
· Desentralisasi administrasi, merupakan pelimpahan kewenangan, tangung jawab, dan sumber daya antar berbagai tingkat pemerintahan.
· Desentralisasi fiskal, merupakan pemberian kewenangan kepada daerah untuk mengali sumber-sumber pendapatan, hak untuk menerima transfer dari pemerintah yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin dan investasi.
Ketiga jenis desentralisasi ini memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya dan merupakan prasyarat untuk mencapai tujuan dilaksanakannya desentralisasi, yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Desentralisasi politik merupakan ujung tombak terwujudnya demokratisasi dan peningkatan partisipasi rakyat dalam tataran pemerintahan. Sementara itu, desentralisasi administrasi merupakan instrument untuk melaksanakan pelayanan kepada masyarakat, dan desentralisasi fiskal memiliki fungsi untuk mewujudkan pelaksanaan desentralisasi politik dan administrasi melalui pemberian kewenangan di bidang keuangan.
Apabila merujuk pada pengertian di atas, pelaksanaan desentralisasi di Indonesia melibatkan ketiga jenis desentralisasi tersebut, sehingga setiap ada kebijakan desentralisasi politik dan administrative selalu diikuti oleh kebijakan desentralisasi fiskal. Dari sisi desentralisasi politik, ada satu perkembangan politik yang fundamental yang terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, hal ini ditandai dengan adanya pemilihan kepala daerah (pilkada), baik pemilihan gubenur maupun bupati/wali kota. Sementara itu dari sisi desentralisasi administrasi, telah diatur pembagian kewenangn antar tingkatan pemerintah daerah dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah. Dengan adanya pengaturan tersebut diharapkan agar ada jaminan kepastian bagi penyelenggaraan pelayanan publik kepada masyarakat.
Adanya pelimpahan kewenangan dan adanya pembagian kewenangan selanjutnya akan melibatkan pembagian keuangan antarlevel pemerintahan, atau yang dikenal dengan desentralisasi fiskal. Konsep desentralisasi fiskal yang dikenal selama ini sebagai “money follows function” (Bahl, 1998) mensyaratkan bahwa pemberian tugas dan kewenangan kepada pemerintah daerah akan diiringi oleh pembagian kewenangan kepada daerah dalam hal penerimaan/pendanaan. Hal ini berarti bahawa hubungan keuangan pusat dan daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian rupa sehingga kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawab daerah data dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada.
Pentingnya dalam kedua desentralisasi tersebut adalah pemeberian suatu tanggung jawab yang semakin besar kepada daerah harus diikuti dengan kemampuan daerah untuk memenuhi tingginya tuntutan masyarakat akan pelayanan yang semakin baik. Untuk meningkatkan kemampuan daerah dalam mendanai kebutuhan pengeluarannya, dan sekaligus untuk meningkatkan akuntabilitas daerah, perlu upaya penguatan kemampuan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah yang termanisfeskan kedalam desentralisasi fiskal.
Contoh Kasus
Mekanisme kebijakan transfer ke daerah, sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 33 Tahun 2004, diwujudkan dalam bentuk dana perimbangan dan dana otonomi khusus dan dana penyesuaian. Selain dana desentralisasi tersebut, daerah juga memiliki sumber dana sendiri berupa pendapatan asli daerah (PAD). Besarnya transfer dana yang berada di daerah dan kemudian peningkatan potensi PAD sebagai sumber dari APBD masing-masing pemerintahan daerah. Keberhasilan suatu daerah dalam mewujudkan kesejagteraan masyarakat sangat bergantung pada kebijakan masing-masing pemerintah daerah yang dapat dilakukan melalui alokasi sumber-sumber pendanaan.
Di Jawa Timur misalnya, Gubernur Jawa Timur Dr. H. Soekarwo, mempunyai program APBD untuk Rakyat. APBD ini dialokasikan pada isu strategis yang menjadi fokus perhatiannya untuk dicarikan jalan keluar melalui berbagai program pembangunan. Lima isu itu adalah masih rendahnya aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan dan pendidikan, terbatasnya peluang kesempatan kerja, adanya ketimpangan atau disparitas antar wilayah, rendahnya daya beli masyarakat, dan pertumbuhan ekonomi makro yang belum mencerminkan kondisi mikro ekonomi.
Dengan menetapkan titik acuan, khususnya indikator di bidang sosial dan ekonomi, dirinya kemudian melakukan empat strategi pembangunan, yakni pembangunan berpusat pada rakyat melalui pendekatan partisipatoris, keberpihakan pada pengentasan kemiskinan, pemberdayaan perempuan, dan pertumbuhan ekonomi. Berbagai program yang telah dilakukannya selama ini, diantaranya adalah peningkatan aksesibilitas pelayanan kesehatan dan pendidikan, renovasi rumah tidak layak huni, pemberdayaan usaha mikro kecil dan menegah, bantuan peralatan pertanian, hingga stablisasi harga komoditas pertanian khususnya gula.












April 23, 2011

Yang Kemudia Berarti...

by : unknown author


Siap atau tidak, suatu hari semuanya pasti akan berakhir

Tidak akan ada lagi matahari yang terbit, tidak ada menit, jam ataupun hari.

….

Semua materi yang kita kumpulkan, baik itu uang yang didapat ataupun hal yang bersifat fisik lainnya akan diteruskan ke orang lain.

Kekayaan kita, ketenaran dan kekuasaan yang sesaat akan menghilang dan menjadi tidak berarti lagi.
Sehingga tidak akan penting lagi segala sesuatu yang pernah kita miliki atau yang pernah kita kuasai.



Segala macam rasa dendam,dengki, frustasi dan juga rasa iri pada akhirnya akan hilang.
Hal yang sama juga berlaku kepada harapan, ambisi, rencana dan hal-hal lainnya yang kita inginkan, kesemuanya itu kemudian jadi tidak berlaku lagi.

Kemenangan dan kekalahan yang pada awalnya menjadi sangat penting lalu segera memudar, lenyap dan menghilang.

...

Tidak berarti lagi darimana kita berasal atau disisi mana jalur hidup kita pada akhirnya.



Tidak berarti lagi apakah kita cantik atau brillian. Bahkan jenis kelamin dan warna kulit bukan lagi menjadi satu persoalan.

…..

Jadi apakah yang akan berarti? Bagaimanakah nilai dari hari kita diukur?

……

Yang kemudian berarti adalah bukan apa yang kita beli namun apa yang kita bangun,
Bukan apa yang kita dapat tapi apa yang kita berikan.

……

Yang kemudian berarti bukanlah kesuksesan kita namun keberartian kita.

……

Yang kemudian berarti bukanlah apa yang kita pelajari namun apa yang kita ajarkan

Yang kemudian berarti adalah setiap tindakan dengan integritas, hati, keberanian dan pengorbanan yang memperkaya, memperkuat ataupun mendorong orang lain untuk menyamai kita sebagai contoh dan menjadikan kita sebagai inspirasi.


Yang kemudian berarti bukanlah kemampuan kita namun karakter kita.

……

Yang kemudian berarti adalah bukan seberapa banyak orang yang kita kenal, namun seberapa banyak yang akan merasakan kehilangan yang mendalam ketika kita pergi.

Yang kemudian berarti bukanlah yang kita kenang namun kenangan tentang kita yang akan terus hidup pada mereka-mereka yang mencintai kita.

……

Yang kemudian berarti adalah seberapa lama kita akan diingat, oleh siapa dan bagaimana kita dikenang

……

Menjalani kehidupan yang berarti tidak terjadi dengan sendirinya. Ini juga bukan mengenai keadaan namun ini mengenai pilihan.

Mengenai pilihan untuk menjalani kehidupan yang berarti.

April 22, 2011

.::TRANSFORMATION::.

I aware that I cant wait for the Luck.
The Hard Work & Doing the Best Every Time On every act must be Necessary.
Not only doing what i must doing, but try to make distinctly beyond the Hope.
Must be hard. but is the cost for the Glory.

Make A dream, make chance, doing hard, get what u want.
God must be see every single our struggle.

April 14, 2011

Catatan Kritis terhadap UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara

 

Dalam UU No. 17 tahun 2003 tentang kekuangan negara terdapat berbagai kelemahan yang terdapat di dalmnya. Dalam UUD 1945 terdapat tiga lembaga negara yang secara tegas mendapat kekuasaan, yaitu kekuasaan pemerintahan pada Presiden (Pasal 4 ayat (1)); kekuasaan pembentukan undang-undang pada Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 20 ayat (1)); serta kekuasaan kehakiman pada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 ayat (2)). Keempat lembaga negara tersebut memiliki kedudukan yang setara.Namun, dalam UU No. 17 Tahun 2003 memberikan kekuasaan pengelolaan keuangan negara kepada Presiden yang selanjutnya didelegasikan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga/ Gubernur/Bupati/ Walikota. Sehingga, Pengelolaan keuangan pada lembaga negara berdasarkan trias politica belum diatur secara detil dalam UU No. 17 Tahun 2003 dan diperlukan adanya penerapan prinsip check and balances di antara pemegang kekuasaan tersebut, termasuk pengelolaan keuangan negara.

Pengaturan pengelolaan keuangan negara pada lembaga pemegang kekuasaan membentuk undang-undang dan lembaga pemegang kekuasaan kehakiman perlu dilakukan perubahan. Hal ini untuk menghindari terjadinya dominasi dari salah satu lembaga pemegang kekuasaan negara sehingga mendukung terwujudnya penyelenggaraan negara yang seimbang dan berkeadilan. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 belum mengatur mengenai kemandirian pengelolaan keuangan negara bagi pemegang kekuasaan pemerintahan, pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang, dan pemegang kekuasaan kehakiman.

Undang-undang ini juga tidak membedakan antara uang publik dan privat. Arifin P. Soeria Atmadja meyebutkan tidak adanya pembedaan antara uang publik dan privat menyebabkan pemerintah harus menanggung kerugian perusahaan swasta. Hal ini dapat dicontohkan pada Kasus Bodas yang membuat pemerintah harsus mencairkan dana pertamina, dimana pemerintahlah yang menanggung kerugian akibat kasus tersebut. Sehingga, perlu ditegaskan kapan uang itu menjadi milik privat dan kapan uang negara.

Selain itu, dalam Undang-Undang Keuangan Negara, dinilai beberapa pihak tidak konsisten karena selain bicara uang negara juga mengatur mengenai uang daerah. Pembedaan antara keuangan negara, daerah, dan BUMN sangat penting dilakukan agar negara tidak terjebak dalam masalah hukum yang merugikan negara. Karena Undang-undang ini membolehkan setiap departemen dapat menhajukan anggarannya masing-masing, sehingga dapat dikhawatirkan rencana yang disusun oleh Bappenas, yang menjadi rencana pembangunan jangka panjang maupun menengah, menjadi tidak berjalan sempurna.

April 7, 2011

Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Moneter (Definisi, Dimensi Politik, dan Contoh Kasus)

A. Kebijakan Fiskal (Definisi, Dimensi Politik, dan Contoh Kasus)
Definisi Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal adalah kebijakan atau pemilihan instrumen yang digunakan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dalam bidang penerimaan serta pengeluaran pemerintah. Subjek kebijaksanaan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah dengan segala aspeknya termasuk aspek hukum, aspek politik, dan lain-lain. Perubahan tingkat komposisi pengaturan pengeluaran dan penerimaan dapat berdampak pada variable-variabel perekonomian yaitu agregat permintaan dan tingkat kegiatan ekonomi; pola alikasi sumber daya; dan distribusi sumberdaya. Kebijakan fiskal sebenarnya merupakan kebijakan pengelolaan keuangan negara dan terbatas pada sumber-sumber penerimaan dan alokasi pengeluaran negara yang tercantum dalam APBN.
Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Contoh sederhananya adalah apabila kita mengubah besar kecilnya pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum. Tapi, hal ini tidak selalu mutlak tergantung situasi dan kondisi dalam masyarakat tersebut.
Terkait dengan penganggaran kebijakan fiskal dapat dibagi menjadi tiga. Pertama anggaran defisit (Defisit Budget) / Kebijakan Fiskal Ekspansif. Anggaran defisit adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Umumnya sangat baik digunakan jika keaadaan ekonomi sedang resesif. Kedua Anggaran Surplus (Surplus Budget) / Kebijakan Fiskal Kontraktif. Anggaran surplus adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan. Ketiga Anggaran Berimbang (Balanced Budget). Anggaran berimbang terjadi ketika pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan. Tujuan politik anggaran berimbang yakni terjadinya kepastian anggaran serta meningkatkan disiplin.
Dimensi Politik Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal berhubungan dengan pengaturan penerimaan dan pengeluaran anggaran. Dalam suatu pengelolaan atau pembentukan kebijakan, dalam hal ini kebijakan fiskal, mulai dari perumusan suatu kebijakan, formulasi kebijakan, sampai pada implementasi dan evaluasi tak luput dari aspek-aspek politik yang ada. Disamping karena konsep kebijakan itu sendiri merupakan salah satu konsep dari Ilmu politik, yang paling menonjol dimensi politiknya adalah bagaimana kebijakan fiskal itu bisa terbentuk. Interaksi-interaksi aktor dalam pembentukan kebijakan ini lah sebagai dimensi politik kebijakan fiskal, bagaiman suatu kumpulan angka-angka dan rencana-rencana yang ada diperdebatkan. Tentu semua aktor mempunyai kepentingan dalam suatu pengaturan tersebut.
Dalam konteks Indonesia, salah satu benutuk kebijakan fiskal adalah pengelolaan anggaran, dimana eksekutif mengajukan rancangan suatu anggaran ke legislatif (DPR), kemudia dalam DPR ini lah suatu rancangan itu dibahas untuk di sahkan. Disini berbagai kepentingan bertemu untuk saling bertransaksi. Dalam kebanyakan kasus apabila sudah tercapai kesepakatan nilai-nilai antar aktor yang tercermin dalam suatu pembahasan draft kebijakan, maka barulah suatu kebijakan tersebut terbentuk.
Contoh Kasus
Akibat dari krisis ekonomi 1998 yang menyebabkan sektor riil macet dan hiperinflasi, Utang Indonesia pada tahun 2000 mencapai Rp 1.226,1 triliun atau sekitar 96%dari PDB. Meningkatnya beban utang tersebut hampir seluruhnya ditimbulkan karena utang dalam negeri dengan jumlah yang besar sebagai akibat dari upaya kita untuk menyelamatkan sektor pebankan yang kacau akibat krisis. Jumlah utang dalam negeri terakumulasi sebesar Rp 643 triliun, yang ditimbulkan akibat tiga kebijakan pokok atau kebijakan fiskal yang diambil dari pihak pemerintah untuk menopang perbankan nasional selama krisis, diantaranya adalah kebijakan BLBI, kebijakan penjaminan bank, kebijakan rekapitalisasi.
Kebijakan BLBI, untuk mengatasi situasi darurat berupa kelangkaan likuiditas yang akut sebagai akibat dari arus dana keluar yang tidak terbendung dan makin membesar dalam perekonomian. Kebijakan penjaminan bank, untuk mengatasi krisis kepercayaan, dengan memberikan jaminan penuh kepada nasabah dan kepada mereka yang bertransaksi dengan bank. Rekapitalisasi Bank, selanjutnya adalah bagaimana membuat agar bank-bank yang tersisa setelah gelombang proses penutupan pada tahun 1998-1999 dapat beroperasi secara normal.
B. Kebijakan Moneter (Definisi, Dimensi Politik, dan Contoh Kasus)
Definisi Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter adalah proses mengatur persediaan uang sebuah negara untuk mencapai tujuan tertentu; seperti menahan inflasi, mencapai pekerja penuh atau lebih sejahtera. Kebijakan moneter dapat melibatkan mengeset standar bunga pinjaman, "margin requirement", kapitalisasi untuk bank atau bahkan bertindak sebagai peminjam usaha terakhir atau melalui persetujuan melalui negosiasi dengan pemerintah lain.
Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada sektor riil.
Kebijakan moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara berkelanjutan dengan tetap mempertahankan kestabilan harga. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Sentral atau Otoritas Moneter berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang agar inflasi dapat terkendali, tercapai kesempatan kerja penuh dan kelancaran dalam pasokan/distribusi barang. Kebijakan moneter dilakukan antara lain dengan salah satu namun tidak terbatas pada instrumen sebagai berikut yaitu suku bunga, giro wajib minimum, intervensi dipasar valuta asing dan sebagai tempat terakhir bagi bank-bank untuk meminjam uang apabila mengalami kesulitan likuiditas.
Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Bank Indonesia juga dapat melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan Prinsip Syariah.
Dimensi Politik Kebijakan Moneter
Pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan kebijakan fiskal. Suatu kebijakan sendiri itu merupakan salah satu konsep dari Ilmu Politik. Mengenai kebijakan moneter dengan keterbatasan anggaran yang, atas dasar apa kebijakan itu dibuat, misalnya adalah dalam hal mengeset standart bungan pinjaman, atau dalam hal bantuan liquiditas. Tentu aspek-aspek politik tak terlepas dalam penentuan tersebut. Kebijakan monter berperan dalam menstabilkan perekonomian, sektor yang terlebi dahulu merasakan adalah sektor perbankan yang kemudian di transfer ke sektor riil yang baik secara langsung dan tidak langsung pasti terpengaruhi atau dipengaruhi oleh situasi politik yang ada.
Contoh Kasus Kebijakan Moneter
Krisis ekonomi tahun 2008 yang dialami Amerika merupakan suatu fenomena yang begitu besar yang dampaknya menyebar ke berbagai negara lain. Dalam konteks perbankan Indonesia, Pemerintah perlu berhati-hati, karena tidak ada yang dapat memperkirakan dalam dan luasnya krisis keungan global ini. Dampak yang paling dirasakan adalah nilai tukar Rupiah. Adanya penarikan dana besar-besaran dalam valas (khususnya USD) oleh lembaga keuangan kreditor dan investor di Amerika Serikat menyebabkan kenaikan yang cukup besar terhadap permintaan valas (khususnya USD). Rupiah pun mengalami depresiasi yang sangat tajam terhadap USD. Bahkan, nilai tukar Rupiah sempat mencapai Rp. 12.900/USD pada November 2008.
Melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap USD tentu saja sangat memberatkan aktivitas impor Indonesia, terutama impor barang elektronik, komoditas pertanian, ataupun barang otomotif yang harganya menjadi lebih mahal. Sektor produksi juga terpengaruh dikarenakan pembelian alat-alat produksi impor yang semakin mahal dan juga pembayaran dari hutang-hutang yang jatuh tempo. Di sisi ekspor, meskipun Dollar menguat terhadap Rupiah, bukan berarti hal tersebut mutlak menggembirakan karena meskipun harga barang ekspor lebih murah, daya beli negara tujuan (AS) pun melemah karena bank dan sumber pembiayaan di AS mengalami kesulitan likuiditas sehingga tidak dapat menyalurkan kredit dengan lancar.
Menyikapi permasalahan ini, Pemerintah dan otoritas moneter telah melakukan beberapa serangkaian kebijakan untuk mengurangi kekhawatiran/ketidakpercayaan publik terhadap kapabilitas dan likuiditas bank-bank nasional. Salah satu kebijakan moneter yang diambil pemerintah saat itu adalah dengan penaikkan BI rate menjadi 9,5% untuk mengantisipasi depresiasi terhadap nilai Rupiah dengan meningkatkan atraktifitas investasi dalam nilai Rupiah akibat spread bunga domestik dan luar negeri yang cukup tinggi.


DAFTAR PUSTAKA

Wayne Baker and Jason Jimerson. 1992. The Sociology of Money The American Behavioral; Jul/Aug 1992; Vol. 35, No. 6; pg. 678-293
Jonathan Kirshner, 2003. Money is Politics, Review of International Political Economy 10:4 November 2003: hal 645-660.
UU No.17 tahun  2003 tentang Keuangan Negara.
Frans Seda (2004)Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Berimbang dan Dinamis pada Masa Orde Baru, dalam Heru Subiyantoro dan Singgih Riphat, Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan Implementasi, Badan Analisis Fiskal, Departemen Keuangan, hal 3-23
Mardiasmo (2008) Kebijakan Desentralisasi Fiskal di Era Reformasi: 2005-2008, dalam Heru Subiyantoro dan Singgih Riphat, Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan Implementasi, Badan Analisis Fiskal, Departemen Keuangan, hal 561-578
M. bird, Richard dan Francois Vaillancourt. Desentralisasi Fiskal di Negara-Negara Berkembang : Tinjauan Umum.
Boediono. Kebijakan Fiskal : Sekarang dan Selanjutnya. Jakarta.
Saragih, Juli Panglima. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Iskandar, Djojosubroto, Dono. Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter di Indonesia. Jakarta
http://id.wikipedia.org/wiki/Anggaran_Pendapatan_dan_Belanja_Daerah diakses pada 28 April 2011