July 21, 2011

Kuota Perempuan (Antara Keadilan dan Ketidakberdayaan)

Terdapat dua pandangan yang berbeda tentang Kuota yang diberikan kepada perempuan baik dalam legislatif maupun dipartai politik. Pandangan pertama menyatakan bahwa kuota perempuan tidak adil karena berlawanan dengan konsep demokratis di dalam partai dan membatasi pilihan. Apabila kuota diterapkan maka, elektabilitas perempuan itu bergantung pada kuota. Kemudian juga masalah ketidak persamaan perlakuan sehingga melangkar konsepsi keadilan. Pandangan kedua, beranggapan bahwa kuota merupakan salah satu strategi kompensasi bagi perempuan untuk meningkatkan representasi. Sehingga perempuan dapat cukup bersaing pada kontestasi politik.

Kedua pandangan tersebut memang saling berrentangan, yaitu antara soal keadilan dan ketidakberdayaan perempuan atas kuota. Apabila kita meilhat konsep kuota sendiri yang tercermin dalam affirmative polcy , maka dapat dilihat secara nyata latarbelakang kuota itu sendiri. Katjasungkana (2003) menjelaskan perdebatan yang muncul seputar pemebrian tindakan afirmatif berakar dari pemahaman bahwa kebijakan affirmatif bertentangan dengan prinsip persamaan dimuka hukum. Pemberian kebijakan khusus untuk kelompok tertentu dianggap telah mendiskripsikan kelompok lain. namun demikian penganjur tindakan affirmatif menyatakan bahwa ukuran-ukuran atau norma-norma yang memberikan perlakuan khusus terhadap anggota kelompok yang diberikan selalu konsisten dengan doktrin persamaan karena sasaran atau tujuan mereka adalah untuk mencapai persamaan diantara kelompok-kelompok masyarakat.

Perbedaan ini sebetulnya bersumber pada konsep tentang persamaan, yakni bahwa dalam konsep persamaan, yang dikembangkan dalam konvensi perempuan tidak hanya berkaitan dengan konsep persamaan dalam kesempatan tapi juga persamaan dalam hasil yang dicapai. jika kesempatan yang telah diberikan kurang dapat dimanfaatkan untuk mengejar ketertinggalan perempuan dalam berbagai bidang maka harus dilakukan tindakan khusus yang bersifat sementara untuk mencapai tujuan tersebut. misalnya saja selama ini eksistensi dan peran perempuan secara keseluruhan belum sesuai harapan (Agustina, 2009), hal ini dapat dilihat antara lain : (a). dalam bidang pendidikan, angka butah huruf peremuan lebih tinggi daripada laki-laki. Angka butah huruf pada kelompok umur 10 tahun ke atas secara nasional tahun 2002 adalah sebesar 9,29% dengan komposisi laki-laki 5,85% dan perempuan 12,69% (BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat Tahun 1999-2002). (b). dalam bidang ekonomi Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan lebih rendah dari pada TPAK laki-laki, yaitu TPAK perempuan 44,81% dan laki-laki76,12% (BPS, BPS Statistik Kesejahteraan Rakyat Tahun 2003). Selain itu perempuan hanya memperoleh penghasilan 25,3% (Megawangi, 1999). (c). dalam bidang pemerintahan, jumlah PNS perempuan hanya sebesar 37,6% sedangkan PNS laki-laki 62,4% (BPS, 2000). Perempuan menduduki posisi administrator/manajer dalam bidang pemerintahan dan swasta hanya 6,6% (Megawangi, 1999).

Sementara itu keterwakilan perempuan dalam legislatif sangat minim. Padahal keterwakilan perempuan dalam kursi legislatif diharapkan dapat memberikan perlindungan dalam berbagai bidang tersebut. Namun, pada kenyataannya keterwakilan perempuan dalam legislatif masih timpang dibandingkan dengan laki-laki. Pentingnya keterwakilan perempuan diperkuat dengan berbagai argumen misalnya argumen model peran karena selama ini perempuan kurang memiliki model peran, Argumen keadilan secara numeric keterwakilan perempuan masih timpang, Argumen kepentingan dan argumen revitalisasi demokrasi.

Pentingnya wakil perempuan yang dapat menampilakan suara-suara dengan perspektif perempuan untuk perjuangan kesetaraan gender merupakan hal yang penting. Oleh karena itu, keberadaan perempuan di parlemen atau DPR disepakati penting karena terkait dengan masalah kesetaraan gender. oleh karena itu, keberadaan kuota sebagai suatu kebijakan adalah penting.

Dengan demikian tindakan affirmatif tidak untuk memanjakan perempuan, tetapi untuk mengejar ketertingalan mereka, terutama yang disebabkan oleh faktor-faktor yang dipengaruhi oleh peran gender mereka (hambatan-hambatan struktural dan cultural). Apabila dibenturkan dengan masalah kesetaraan dan keadilan atas peluang mereka, maka lebih tidak adil lagi apabila kondisi seperti ini dibiarkan, tanpa intervensi. Beberapa kaum feminis mengatakan bahwa persamaan perlakuan boleh selama hambatan struktural dan kultural tidak ada. Dimana eksistensi perempuan dalam ruang public diibaratkan sebagai bayi yang baru lahir melawan berbagai bentuk kekuatan laki-laki yang sudah lama mendominasi.

Dengan adanya kuota ini diyakini akan membuat perubahan besar, tak hanya menyangkut partisipasi dalam mengambil keputusan, tetapi juga menjadi upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara kongkret. Namun demikian, kuota bukanlah satu-satunya jalan dalam perjuangan menuju keadilan gender. kuota dirancang hanya untuk mefaslitasi akses perempuan pada pengambilan keputusan dan hanya untuk sementara. ketika garis strat perempuan berada jauh dibelakang, kuota menjadi sangat penting, agar terjadi kompetisi sekaligus kerjasama secara fair. baik.

July 20, 2011

Perempuan dalam Pemilu Kada Jawa Timur (Ambisi Personal, Peluang Jabatan, dan Gerakan yang berpusat pada kepentingan Perempuan)

Kehadiran sosok perempuan dalam Pemilu Kada Jawa Timur merupakan fenomena yang tampak nyata baik kuantitas maupun kualitasnya. Kehadiran sosok perempuan ini tidak bisa dipungkiri ikut meramaikan kontestasi politik di daerah. Mereka menawarkan diri dan/atau ditawarkan sebagai alternatif pemimpin pemerintahan, berusaha memberi dan menumbuhkan harapan, dan tidak jarang memancing serta menjadi bahan perbincangan di berbagai kalangan. Di antara sosok-sosok yang tampil ada yang sekadar meramaikan sampai pada tahapan nominasi, ada yang berhasil lanjut ke tahap kandidasi, bahkan ada yang telah berhasil memenangi kontestasi.

Di Jawa Timur sendiri berdasarkan penelitian Kemitraan (2011) merupakan daerah yang memiliki perempuan yang maju sebagai bakal calon cukup banyak. Dari 18 kabupaten yang menyelenggarakan pemilukada, di 9 kabupaten terdapat 12 perempuan berpartisipasi baik sebagai bupati maupun sebagai wakil bupati. Beberapa calon-calon tersebut misalnya antara lain, Tri Rismaharini (yang sekarang Wali Kota Surabaya), Haryanti dari Kediri, Emy Susanti dari Sidoarjo, Emilia Contesa dari Banyu Wangi, dan Kartika Hidayati dari lamongan, dan masi banyak lagi.

Hal ini menunjukan bahwa keikutsertaan perempuan dalam pilkada mengisyaratkan akseptabilitas perempuan dalam jabatan publik. Menurut kemitraan (2011) akseptabilitas perempuan dalam jabatan publik setidaknya ditentukan oleh beberapa aspek. Pertama, perempuan setidaknya telah memiliki ambisi personal, sebuah tahapan yang penting untuk mendapatkan kekuasaan politik. Kedua, adanya peluang jabatan yang memungkinkan perempuan muncul sebagai kandidat politik. Dalam konteks ini perempuan setidaknya memiliki estimasi sumber-sumber politik sehingga bisa mengkampanyekan dirinya dalam proses kandidasi. Ketiga, dukungan organisasi politik sebagai suatu gerakan yang mendukung kepentingan perempuan yang memungkinkan perempuan dicalonkan. Dukungan menjadi sangat penting untuk membantu perempuan memutuskan untuk mendapatkan jabatan. Berikut ini akan mencoba menganalisis peremuan dalam Pemilukada Jawa Timur dalam ketiga factor tersebut.

a. Ambisi Personal

Ambisi merupakan tahapan awal dalam mendapatkan representasi politik. Tapi kebanyakan perempuan yang mencalonkan diri dianggap sombong, ambisius, dan menyalai norma. Padahal dalam politik ambisi itu diperlukan. Karena politik itu adalah bagaiman mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Harus ada ambisi disana.

Keberanian perempuan-perempuan dalam kontestasi Pemilukada di Jawa Timur difasilitasi oleh keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin daerah. Jadi ambisi pribadi tersebut didukung oleh adanya keyakinan bahwa mereka mampu melakukannya. Hal ini juga berkaitan dengan adanya kesadaran akan perlunya perempuan terlibat di dalam dunia politik. Sehingga sejak awal mereka mantab menyatakan keinginan untuk maju sebagai kepala daerah.

Seperti Wali Kota Surabaya saat ini yaitu Risma yag merasa memiliki komitmen dan kompetensi diri karena tidak terlepas dari perasaan keberhasilannnya dalam karir publik sebelumnya. Sebelum maju dalam kandidasi perempuan satu ini telah memiliki karir public sebagai seorang birokrat yang cemerlang. Hal ini menunjukan bahwa dia tidak hanya telah mampu berperan terbiasa terjun di rana public, melainkan juga terbiasa berkompetisi.

Begitu juga dengan Emy yang juga maju dalam kontestasi politik sidoarjo. Ia ingin melanjutkan pembangunan yang telah sukses dilakukan oleh Bupati Win Hendarso (Suaminya). Ia percaya behwa sebagai posisi istri bupati pada sat itu membuat Emy lebih megenal potensi dan tantangan yang dihadapi masyarakat dan pemerintah Sidoarjo. Hal ini lah yang menjadi motivasi dan ambisi dirinya untuk maju dalam Pemilu dari pada calon yang lain.

b. Peluang Jabatan

Pengkajian peluang perempuan dan keinginan mendapatkan jabatan dipengaruhi oleh kesempatan , ranah, dan lingkunagn politik ketika mereka maju sebagai suatu kandidat kepala daerah. Dalam konteks ini perempuan setidaknya memiliki estimasi sumber-sumber politik sehingga bisa mengkampanyekan dirinya dalam proses kandidasi. Modal sosial dan politik sering menjadi bahan pertimbangan kandidat untuk mengejar karir politiknya.

Kebanyakan perempuan yang mengikuti pemilukada adalah mereka yang sudah menjadi aktivis di berbagai pergerakan, apakah yang bercorak politik atau lainnya. Oleh karena itu, maka tema-tema yang diusung oleh kaum perempuan ini juga terkait dengan bagaimana meningkatkan peran perempuan di dalam kehidupan masyarakat secara luas. Tema-tema kampanye di dalam pemilukada yang diikuti oleh perempuan, maka yang mengedepan adalah tema-tema tentang gender mainstreaming.

Misalnya adalah Risma, Ia merupakan merupakan birokrat profesional, yang mengawali dan mengakhiri karirnya sebagai birokrat di Pemerintahan Kota Surabaya sebelum memutuskan berhenti dan menjadi calon walikota. Modal sosial, sebagai pendukung peluang mendapatkan jabatannya, yang dimiliki justru terbangun ketika dia berkarir sebagai birokrat profesional itu. Ketika bertindak sebagai Kepala Bagian Bina Pembangunan, Sekretariat Daerah Kota Surabaya, antara 2 September 2002 sampai 1 Juni 2005, Risma telah memelopori diberlakukannya E-procurement di dalam proses tender di Kota Surabaya. Begitu juga dengan berbagai jabatan yang bernah dipegang Risma, Ia mampu menorengkan berbagai prestasi. Posisi dan prestasi semacam itu telah memungkinkan Risma memiliki jaringan yang lebih luas dengan warga Kota Surabaya, sehingga peluang untuk merebut jabatan juga semakin kuat.

Begitu juga dengan Emy sebagai calon Bupati Sidoarjo. Berbagai jaringan aktivis perempuan, akademis dan tokoh masyarakat yang pernah geluti menjadi modal kuat. Aktifitasnya dalam berbagai organisasi sosial memberikan keuntungan bagi Emy untuk proses kampanye maupun dukungan suara. Organisasi-organisasi yang berada di bawah binaannya tersebut mendukung kampanye Emy dikala mesin politik pengusung Emy tidak bekerja dengan sempurna.

c. Gerakan yang berpusat pada kepentingan Perempuan

Organisasi perempuan atau gerakan perempuan memberikan pengalaman pada perempuan dalam setting publik, membantu membangun kepercayaan diri dan memberikan basis dukungan bilaman perempuan memutuskan untuk mendapatkan jabatan. Dukungan organisasi politik sebagai suatu gerakan yang mendukung kepentingan perempuan yang memungkinkan perempuan dicalonkan. Dukungan menjadi sangat penting untuk membantu perempuan memutuskan untuk mendapatkan jabatan.

Seperti dukungan yang dimiliki Emy sebagai istri Bupati pada saat itu, Emy memiliki

akses baik kepada para pembuat keputusan dan politisi di Kabupaten Sidoarjo karena statusnya sebagai istri bupati. Modal politik lain yang dimiliki Emy adalah pasangannya yang menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Kabupaten Sidoarjo. Jaringan politik Khulaim Junaidi di PAN dan partai politik lain merupakan keuntungan politik bagi Emy saat mencalonkan diri sebagai kandidat calon bupati. Status sebagai istri Bupati juga lebih memudahkan Emy untuk mendapatkan akses ke masyarakat maupun lembaga-lembaga pemerintahan dibanding kandidat lain.

Lain halnya dengan Risma, mengingat ia bukanlah politisi dan tidak terkait dengan partai tertentu, Risma tidak memiliki modal politik berupa dukungan dari partai pada awalnya. Modal politik yang dimilikinya adalah sebagai pejabat di lingkungan birokrasi, yang memungkinkan dirinya berinteraksi dengan pejabatpejabat politik dan masyarakat. Modal terbesar yang dimiliki Risma adalah predikat birokrat profesional dan berprestasi. Modal ini pula yang memungkinkan Risma memperoleh kepercayaan dari PDIP untuk dicalonkan.

July 12, 2011

Daftar Caleg di Kabupaten Kediri (Analisis Gender Representasi Anne Philips dan Kuota perempuan)

Daftar Caleg di Kabupaten Kediri, sudah memenuhi sekurang-kurangnya kuota 30 % keterwakilan perempuan hal ini ditunjukan dari partai politik peserta pemilu yang mengalokasikan setidaknya ada satu calon legislatif perempuan dalam tiga nama yang diajukan. Kuota 30 % ini sebagai bentuk tindakan affirmatif, dimana yang bertujuan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di kursi legislatif. Hal ini berarti adanya kuota menjadi kesempatan emas bagi perempuan dalam kontestasi perempuan dalam parlemen. Sekian lama perempuan ada dalam bayang-bayang superioritas politik, ekonomi, sosial, dan budaya perempuan atas laki-laki. Dalam dunia politik sendiri perempuan telah mendapat status yang terpinggirkan, perempuan telah dikeluarkan, ditiadakan dalam dunia serta aktivitas politik, bahkan perempuan telah ditiadakan sejak politik pertama kali didefinisikan. Politik diterima dan dirasakan pada ruang yang sangat sempit dan diwakili oleh satu term saja, yakni maskulin. Keberadaan kuota sangat penting melihat hambatan-hambatan struktural serta cultural masih menghantui perempuan.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah memang dengan meningkatnya perempuan di legislatif dapat sekaligus meningkatkan kualiltas dari perwakilan sebagai suatu responsifitas kepentingan yang diwakili ?. Sebuah ulasan yang sangat menarik oleh Anne Philips, yakni mengenai Dealing with Difference: A Politics of Ideas or a Politics of Presence?. Di dalam ulasan tersebut Philips memiliki keraguan mengenai demokrasi yang berlangsung selama ini, demokrasi sebagi sebuah sistem yang menghubungkan dua hal yakni, yang direpresentasikan dan yang merepresentasi. Konsekuensi dari demokrasi adalah apa yang akan diwakili kemudian mengambil prioritas melebihi siapa yang diwakili. Kualitas dari demokrasi dijamin dengan luasnya hak pilih terhadap semua orang dewasa, setiap laki-laki maupun perempuan yang mengkontribusikan suaranya pada opinion yang menguntungkan untuk publik. Yang biasa terjadi dari banyak otoritas pra-demokrasi adalah peranan politikus untuk membawa pesan. Pesan ini akan bertukar-tukar, tetapi hal ini akan terasa berat dan susah jika pembawa pesannya sama, yakni laki-laki. Laki-laki dianggap sebagai pembawa pesan, pembawa amanat atas suara-suara yang ingin diwakili dalam pemerintahan, bahkan laki-laki dipercaya memiliki kemampuan politik dalam mengartikulasikan kebijakan dan ide ketimbang perempuan.

Phillips berargumentasi bahwa kita mesti mengubah interpretasi tentang representasi dari kerangka yang didasarkan pada politik ide (merepresentasikan opini warganegara dan preferensi kebijakan) ke kerangka yang didasarkan pada ‘the politics of presence’ atau politik kehadiran. Demokrasi liberal secara tradisional didasarkan pada praktek toleransi untuk mengakomodasikan perbedaan, namun bagi Philips hal itu tidaklah cukup. Philips sendiri memaknai ’new politics of presence’ sebagai situasi meminta persamaan publik yang tidak hanya merupakan izin terhadap penyimpangan privat. Philips melihat bahwa toleransi merupakan pengganti yang sangat buruk untuk sebuah rekognisi, kita hanya mentoleransi apa yang kita tidak suka atau menyetujuinya namun perbedaan dibalut dengan identitas, sangat sulit bagi toleransi untuk menerima ini. Identity politics memiliki potensi untuk menyatakan secara umum aspek dari diri pribadi kita sendiri, untuk menyelamatkan identitas dari ketidaktahuan sebagai fitur privat dari diri kita. Bagaimanapun, kesulitan pada ‘non-negotiable identities’ sama halnya seperti bahan bakar kemarahan dan esensi dari identitas ras, gender, seksualitas ataupun etnis. Sehingga kehadiran perempuan secara langsung untuk mewakili yang diwakili merupakan suatu yang penting, tidak hanya ide atau kepentingan saja yang penting tetapi juga identitas itu sendiri juga penting.

July 11, 2011

Enjoy Your Life

When you are Teens --... you have all the time and energie but no money.
When you are Workers ..... you have the money and energie but no time .
When you are Oldies ..... you have all the time and money but you no more energie.

Lesson :
Enjoy life and the Thing you have at the moment, because you can’t have everything all at once .

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Bila Anda Remaja --... Anda memiliki semua waktu dan tenaga tetapi tidak punya uang.
Bila Anda Pekerja ..... Anda memiliki uang dan tenaga tapi tidak ada waktu.
Bila Anda Tua ..... Anda memiliki semua waktu dan uang tetapi Anda tidak mempunyai tenaga lagi.
pelajaran:
Nikmati hidup dan hal yang Anda miliki saat ini, karena Anda tidak bisa memiliki semuanya sekaligus.