Terdapat dua pandangan yang berbeda tentang Kuota yang diberikan kepada perempuan baik dalam legislatif maupun dipartai politik. Pandangan pertama menyatakan bahwa kuota perempuan tidak adil karena berlawanan dengan konsep demokratis di dalam partai dan membatasi pilihan. Apabila kuota diterapkan maka, elektabilitas perempuan itu bergantung pada kuota. Kemudian juga masalah ketidak persamaan perlakuan sehingga melangkar konsepsi keadilan. Pandangan kedua, beranggapan bahwa kuota merupakan salah satu strategi kompensasi bagi perempuan untuk meningkatkan representasi. Sehingga perempuan dapat cukup bersaing pada kontestasi politik.
Kedua pandangan tersebut memang saling berrentangan, yaitu antara soal keadilan dan ketidakberdayaan perempuan atas kuota. Apabila kita meilhat konsep kuota sendiri yang tercermin dalam affirmative polcy , maka dapat dilihat secara nyata latarbelakang kuota itu sendiri. Katjasungkana (2003) menjelaskan perdebatan yang muncul seputar pemebrian tindakan afirmatif berakar dari pemahaman bahwa kebijakan affirmatif bertentangan dengan prinsip persamaan dimuka hukum. Pemberian kebijakan khusus untuk kelompok tertentu dianggap telah mendiskripsikan kelompok lain. namun demikian penganjur tindakan affirmatif menyatakan bahwa ukuran-ukuran atau norma-norma yang memberikan perlakuan khusus terhadap anggota kelompok yang diberikan selalu konsisten dengan doktrin persamaan karena sasaran atau tujuan mereka adalah untuk mencapai persamaan diantara kelompok-kelompok masyarakat.
Perbedaan ini sebetulnya bersumber pada konsep tentang persamaan, yakni bahwa dalam konsep persamaan, yang dikembangkan dalam konvensi perempuan tidak hanya berkaitan dengan konsep persamaan dalam kesempatan tapi juga persamaan dalam hasil yang dicapai. jika kesempatan yang telah diberikan kurang dapat dimanfaatkan untuk mengejar ketertinggalan perempuan dalam berbagai bidang maka harus dilakukan tindakan khusus yang bersifat sementara untuk mencapai tujuan tersebut. misalnya saja selama ini eksistensi dan peran perempuan secara keseluruhan belum sesuai harapan (Agustina, 2009), hal ini dapat dilihat antara lain : (a). dalam bidang pendidikan, angka butah huruf peremuan lebih tinggi daripada laki-laki. Angka butah huruf pada kelompok umur 10 tahun ke atas secara nasional tahun 2002 adalah sebesar 9,29% dengan komposisi laki-laki 5,85% dan perempuan 12,69% (BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat Tahun 1999-2002). (b). dalam bidang ekonomi Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan lebih rendah dari pada TPAK laki-laki, yaitu TPAK perempuan 44,81% dan laki-laki76,12% (BPS, BPS Statistik Kesejahteraan Rakyat Tahun 2003). Selain itu perempuan hanya memperoleh penghasilan 25,3% (Megawangi, 1999). (c). dalam bidang pemerintahan, jumlah PNS perempuan hanya sebesar 37,6% sedangkan PNS laki-laki 62,4% (BPS, 2000). Perempuan menduduki posisi administrator/manajer dalam bidang pemerintahan dan swasta hanya 6,6% (Megawangi, 1999).
Sementara itu keterwakilan perempuan dalam legislatif sangat minim. Padahal keterwakilan perempuan dalam kursi legislatif diharapkan dapat memberikan perlindungan dalam berbagai bidang tersebut. Namun, pada kenyataannya keterwakilan perempuan dalam legislatif masih timpang dibandingkan dengan laki-laki. Pentingnya keterwakilan perempuan diperkuat dengan berbagai argumen misalnya argumen model peran karena selama ini perempuan kurang memiliki model peran, Argumen keadilan secara numeric keterwakilan perempuan masih timpang, Argumen kepentingan dan argumen revitalisasi demokrasi.
Pentingnya wakil perempuan yang dapat menampilakan suara-suara dengan perspektif perempuan untuk perjuangan kesetaraan gender merupakan hal yang penting. Oleh karena itu, keberadaan perempuan di parlemen atau DPR disepakati penting karena terkait dengan masalah kesetaraan gender. oleh karena itu, keberadaan kuota sebagai suatu kebijakan adalah penting.
Dengan demikian tindakan affirmatif tidak untuk memanjakan perempuan, tetapi untuk mengejar ketertingalan mereka, terutama yang disebabkan oleh faktor-faktor yang dipengaruhi oleh peran gender mereka (hambatan-hambatan struktural dan cultural). Apabila dibenturkan dengan masalah kesetaraan dan keadilan atas peluang mereka, maka lebih tidak adil lagi apabila kondisi seperti ini dibiarkan, tanpa intervensi. Beberapa kaum feminis mengatakan bahwa persamaan perlakuan boleh selama hambatan struktural dan kultural tidak ada. Dimana eksistensi perempuan dalam ruang public diibaratkan sebagai bayi yang baru lahir melawan berbagai bentuk kekuatan laki-laki yang sudah lama mendominasi.
Dengan adanya kuota ini diyakini akan membuat perubahan besar, tak hanya menyangkut partisipasi dalam mengambil keputusan, tetapi juga menjadi upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara kongkret. Namun demikian, kuota bukanlah satu-satunya jalan dalam perjuangan menuju keadilan gender. kuota dirancang hanya untuk mefaslitasi akses perempuan pada pengambilan keputusan dan hanya untuk sementara. ketika garis strat perempuan berada jauh dibelakang, kuota menjadi sangat penting, agar terjadi kompetisi sekaligus kerjasama secara fair. baik.
No comments:
Post a Comment