Kehadiran sosok perempuan dalam Pemilu Kada Jawa Timur merupakan fenomena yang tampak nyata baik kuantitas maupun kualitasnya. Kehadiran sosok perempuan ini tidak bisa dipungkiri ikut meramaikan kontestasi politik di daerah. Mereka menawarkan diri dan/atau ditawarkan sebagai alternatif pemimpin pemerintahan, berusaha memberi dan menumbuhkan harapan, dan tidak jarang memancing serta menjadi bahan perbincangan di berbagai kalangan. Di antara sosok-sosok yang tampil ada yang sekadar meramaikan sampai pada tahapan nominasi, ada yang berhasil lanjut ke tahap kandidasi, bahkan ada yang telah berhasil memenangi kontestasi.
Di Jawa Timur sendiri berdasarkan penelitian Kemitraan (2011) merupakan daerah yang memiliki perempuan yang maju sebagai bakal calon cukup banyak. Dari 18 kabupaten yang menyelenggarakan pemilukada, di 9 kabupaten terdapat 12 perempuan berpartisipasi baik sebagai bupati maupun sebagai wakil bupati. Beberapa calon-calon tersebut misalnya antara lain, Tri Rismaharini (yang sekarang Wali Kota Surabaya), Haryanti dari Kediri, Emy Susanti dari Sidoarjo, Emilia Contesa dari Banyu Wangi, dan Kartika Hidayati dari lamongan, dan masi banyak lagi.
Hal ini menunjukan bahwa keikutsertaan perempuan dalam pilkada mengisyaratkan akseptabilitas perempuan dalam jabatan publik. Menurut kemitraan (2011) akseptabilitas perempuan dalam jabatan publik setidaknya ditentukan oleh beberapa aspek. Pertama, perempuan setidaknya telah memiliki ambisi personal, sebuah tahapan yang penting untuk mendapatkan kekuasaan politik. Kedua, adanya peluang jabatan yang memungkinkan perempuan muncul sebagai kandidat politik. Dalam konteks ini perempuan setidaknya memiliki estimasi sumber-sumber politik sehingga bisa mengkampanyekan dirinya dalam proses kandidasi. Ketiga, dukungan organisasi politik sebagai suatu gerakan yang mendukung kepentingan perempuan yang memungkinkan perempuan dicalonkan. Dukungan menjadi sangat penting untuk membantu perempuan memutuskan untuk mendapatkan jabatan. Berikut ini akan mencoba menganalisis peremuan dalam Pemilukada Jawa Timur dalam ketiga factor tersebut.
a. Ambisi Personal
Ambisi merupakan tahapan awal dalam mendapatkan representasi politik. Tapi kebanyakan perempuan yang mencalonkan diri dianggap sombong, ambisius, dan menyalai norma. Padahal dalam politik ambisi itu diperlukan. Karena politik itu adalah bagaiman mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Harus ada ambisi disana.
Keberanian perempuan-perempuan dalam kontestasi Pemilukada di Jawa Timur difasilitasi oleh keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin daerah. Jadi ambisi pribadi tersebut didukung oleh adanya keyakinan bahwa mereka mampu melakukannya. Hal ini juga berkaitan dengan adanya kesadaran akan perlunya perempuan terlibat di dalam dunia politik. Sehingga sejak awal mereka mantab menyatakan keinginan untuk maju sebagai kepala daerah.
Seperti Wali Kota Surabaya saat ini yaitu Risma yag merasa memiliki komitmen dan kompetensi diri karena tidak terlepas dari perasaan keberhasilannnya dalam karir publik sebelumnya. Sebelum maju dalam kandidasi perempuan satu ini telah memiliki karir public sebagai seorang birokrat yang cemerlang. Hal ini menunjukan bahwa dia tidak hanya telah mampu berperan terbiasa terjun di rana public, melainkan juga terbiasa berkompetisi.
Begitu juga dengan Emy yang juga maju dalam kontestasi politik sidoarjo. Ia ingin melanjutkan pembangunan yang telah sukses dilakukan oleh Bupati Win Hendarso (Suaminya). Ia percaya behwa sebagai posisi istri bupati pada sat itu membuat Emy lebih megenal potensi dan tantangan yang dihadapi masyarakat dan pemerintah Sidoarjo. Hal ini lah yang menjadi motivasi dan ambisi dirinya untuk maju dalam Pemilu dari pada calon yang lain.
b. Peluang Jabatan
Pengkajian peluang perempuan dan keinginan mendapatkan jabatan dipengaruhi oleh kesempatan , ranah, dan lingkunagn politik ketika mereka maju sebagai suatu kandidat kepala daerah. Dalam konteks ini perempuan setidaknya memiliki estimasi sumber-sumber politik sehingga bisa mengkampanyekan dirinya dalam proses kandidasi. Modal sosial dan politik sering menjadi bahan pertimbangan kandidat untuk mengejar karir politiknya.
Kebanyakan perempuan yang mengikuti pemilukada adalah mereka yang sudah menjadi aktivis di berbagai pergerakan, apakah yang bercorak politik atau lainnya. Oleh karena itu, maka tema-tema yang diusung oleh kaum perempuan ini juga terkait dengan bagaimana meningkatkan peran perempuan di dalam kehidupan masyarakat secara luas. Tema-tema kampanye di dalam pemilukada yang diikuti oleh perempuan, maka yang mengedepan adalah tema-tema tentang gender mainstreaming.
Misalnya adalah Risma, Ia merupakan merupakan birokrat profesional, yang mengawali dan mengakhiri karirnya sebagai birokrat di Pemerintahan Kota Surabaya sebelum memutuskan berhenti dan menjadi calon walikota. Modal sosial, sebagai pendukung peluang mendapatkan jabatannya, yang dimiliki justru terbangun ketika dia berkarir sebagai birokrat profesional itu. Ketika bertindak sebagai Kepala Bagian Bina Pembangunan, Sekretariat Daerah Kota Surabaya, antara 2 September 2002 sampai 1 Juni 2005, Risma telah memelopori diberlakukannya E-procurement di dalam proses tender di Kota Surabaya. Begitu juga dengan berbagai jabatan yang bernah dipegang Risma, Ia mampu menorengkan berbagai prestasi. Posisi dan prestasi semacam itu telah memungkinkan Risma memiliki jaringan yang lebih luas dengan warga Kota Surabaya, sehingga peluang untuk merebut jabatan juga semakin kuat.
Begitu juga dengan Emy sebagai calon Bupati Sidoarjo. Berbagai jaringan aktivis perempuan, akademis dan tokoh masyarakat yang pernah geluti menjadi modal kuat. Aktifitasnya dalam berbagai organisasi sosial memberikan keuntungan bagi Emy untuk proses kampanye maupun dukungan suara. Organisasi-organisasi yang berada di bawah binaannya tersebut mendukung kampanye Emy dikala mesin politik pengusung Emy tidak bekerja dengan sempurna.
c. Gerakan yang berpusat pada kepentingan Perempuan
Organisasi perempuan atau gerakan perempuan memberikan pengalaman pada perempuan dalam setting publik, membantu membangun kepercayaan diri dan memberikan basis dukungan bilaman perempuan memutuskan untuk mendapatkan jabatan. Dukungan organisasi politik sebagai suatu gerakan yang mendukung kepentingan perempuan yang memungkinkan perempuan dicalonkan. Dukungan menjadi sangat penting untuk membantu perempuan memutuskan untuk mendapatkan jabatan.
Seperti dukungan yang dimiliki Emy sebagai istri Bupati pada saat itu, Emy memiliki
akses baik kepada para pembuat keputusan dan politisi di Kabupaten Sidoarjo karena statusnya sebagai istri bupati. Modal politik lain yang dimiliki Emy adalah pasangannya yang menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Kabupaten Sidoarjo. Jaringan politik Khulaim Junaidi di PAN dan partai politik lain merupakan keuntungan politik bagi Emy saat mencalonkan diri sebagai kandidat calon bupati. Status sebagai istri Bupati juga lebih memudahkan Emy untuk mendapatkan akses ke masyarakat maupun lembaga-lembaga pemerintahan dibanding kandidat lain.
Lain halnya dengan Risma, mengingat ia bukanlah politisi dan tidak terkait dengan partai tertentu, Risma tidak memiliki modal politik berupa dukungan dari partai pada awalnya. Modal politik yang dimilikinya adalah sebagai pejabat di lingkungan birokrasi, yang memungkinkan dirinya berinteraksi dengan pejabatpejabat politik dan masyarakat. Modal terbesar yang dimiliki Risma adalah predikat birokrat profesional dan berprestasi. Modal ini pula yang memungkinkan Risma memperoleh kepercayaan dari PDIP untuk dicalonkan.
No comments:
Post a Comment