July 12, 2011

Daftar Caleg di Kabupaten Kediri (Analisis Gender Representasi Anne Philips dan Kuota perempuan)

Daftar Caleg di Kabupaten Kediri, sudah memenuhi sekurang-kurangnya kuota 30 % keterwakilan perempuan hal ini ditunjukan dari partai politik peserta pemilu yang mengalokasikan setidaknya ada satu calon legislatif perempuan dalam tiga nama yang diajukan. Kuota 30 % ini sebagai bentuk tindakan affirmatif, dimana yang bertujuan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di kursi legislatif. Hal ini berarti adanya kuota menjadi kesempatan emas bagi perempuan dalam kontestasi perempuan dalam parlemen. Sekian lama perempuan ada dalam bayang-bayang superioritas politik, ekonomi, sosial, dan budaya perempuan atas laki-laki. Dalam dunia politik sendiri perempuan telah mendapat status yang terpinggirkan, perempuan telah dikeluarkan, ditiadakan dalam dunia serta aktivitas politik, bahkan perempuan telah ditiadakan sejak politik pertama kali didefinisikan. Politik diterima dan dirasakan pada ruang yang sangat sempit dan diwakili oleh satu term saja, yakni maskulin. Keberadaan kuota sangat penting melihat hambatan-hambatan struktural serta cultural masih menghantui perempuan.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah memang dengan meningkatnya perempuan di legislatif dapat sekaligus meningkatkan kualiltas dari perwakilan sebagai suatu responsifitas kepentingan yang diwakili ?. Sebuah ulasan yang sangat menarik oleh Anne Philips, yakni mengenai Dealing with Difference: A Politics of Ideas or a Politics of Presence?. Di dalam ulasan tersebut Philips memiliki keraguan mengenai demokrasi yang berlangsung selama ini, demokrasi sebagi sebuah sistem yang menghubungkan dua hal yakni, yang direpresentasikan dan yang merepresentasi. Konsekuensi dari demokrasi adalah apa yang akan diwakili kemudian mengambil prioritas melebihi siapa yang diwakili. Kualitas dari demokrasi dijamin dengan luasnya hak pilih terhadap semua orang dewasa, setiap laki-laki maupun perempuan yang mengkontribusikan suaranya pada opinion yang menguntungkan untuk publik. Yang biasa terjadi dari banyak otoritas pra-demokrasi adalah peranan politikus untuk membawa pesan. Pesan ini akan bertukar-tukar, tetapi hal ini akan terasa berat dan susah jika pembawa pesannya sama, yakni laki-laki. Laki-laki dianggap sebagai pembawa pesan, pembawa amanat atas suara-suara yang ingin diwakili dalam pemerintahan, bahkan laki-laki dipercaya memiliki kemampuan politik dalam mengartikulasikan kebijakan dan ide ketimbang perempuan.

Phillips berargumentasi bahwa kita mesti mengubah interpretasi tentang representasi dari kerangka yang didasarkan pada politik ide (merepresentasikan opini warganegara dan preferensi kebijakan) ke kerangka yang didasarkan pada ‘the politics of presence’ atau politik kehadiran. Demokrasi liberal secara tradisional didasarkan pada praktek toleransi untuk mengakomodasikan perbedaan, namun bagi Philips hal itu tidaklah cukup. Philips sendiri memaknai ’new politics of presence’ sebagai situasi meminta persamaan publik yang tidak hanya merupakan izin terhadap penyimpangan privat. Philips melihat bahwa toleransi merupakan pengganti yang sangat buruk untuk sebuah rekognisi, kita hanya mentoleransi apa yang kita tidak suka atau menyetujuinya namun perbedaan dibalut dengan identitas, sangat sulit bagi toleransi untuk menerima ini. Identity politics memiliki potensi untuk menyatakan secara umum aspek dari diri pribadi kita sendiri, untuk menyelamatkan identitas dari ketidaktahuan sebagai fitur privat dari diri kita. Bagaimanapun, kesulitan pada ‘non-negotiable identities’ sama halnya seperti bahan bakar kemarahan dan esensi dari identitas ras, gender, seksualitas ataupun etnis. Sehingga kehadiran perempuan secara langsung untuk mewakili yang diwakili merupakan suatu yang penting, tidak hanya ide atau kepentingan saja yang penting tetapi juga identitas itu sendiri juga penting.

No comments:

Post a Comment