October 3, 2011

RESUME - SEMINAR POLITIK ANGGARAN DALAM DESENTRALISASI & OTONOMI DAERAH By PRATIKNO

Politik anggaran merupakan proses saling mempengaruhi di antara berbagai pihak yang berkepentingan dalam menentukan skala prioritas pembangunan dan mempengaruhi kebijakan alokasi anggaran karena terbatasanya sumberdana public yang tersedia. Politik angaran juga merupakan penegasan kekuasaan atau kekuatan politik di antara berbagai pihak yang terlibat dalam penentuan kebijakan maupun alokasi anggaran.

Terdapar beberapa isu yang melatarbelakangi desentralisasi fiskal di Indonesia. Pertama adalah isu ketimpangan sumber daya ekonomi antara jawa dan luar jawa. Luar jawa sebagai produsen berbagai sumber daya tetapi eksportirnya lebih banyak berasal dari Jawa-Bali dan ekonomi berkembang di Jawa.

Kedua isu-isu fiskal atau isu-isu soal keuangan negara itu terkonsentrasi dipusat. Di era Oede baru diharapkan ketimpangan akan selesai, tetapi tidak, daerah banyak yan bergejolak ingin merdeka sendiri-sendiri. Daerah menuntut ingin diberi otonomi dan diberi alokasi dana, hal ini lah pangkal mula terjadi kebijakan anggaran tahun 2001. Tak heran apabila desentralisasi fiskal disebut sebagai salah satu bentuk negosiasi politik.

Pemerintah pusat mendesentralisasikan fungsi sekaligus mendesentralisasikan fiskal. Pusat memberikan tugas kepada daerah sekaligus diikuti dengan memberikan uang. Contoh sederhananya adalah kabupaten/kota diberi urusan pengaturan pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, dan lain sebagainya disertai dengan diberi fiskal. Hal ini lah yang disebut Money follows function atau uang itu mengikuti fugsi. Keseimbangan fiskal antarpusat dan daerah (vertical fiscal balance) terjadi apabila distribusi kapasitas fiskal setara dengan distribusi kapasitas fungsi. Kalau uangnya banyak diberikan berarti tugas atau fungsi juga banyak diberikan, ini berarti bahwa uanga yang didesentralisasikan berbasis pada fungsi.

Desentralisasi fiskal selain membuat keseimbangan fiskal vertikal (vertical fiscal balance), juga membuat keseimbangan fiskal horisontal (horizontal fiscal balance). Keseimbangan fiskal horizontal merupakan keseimbanga antardaerah. Oleh karena itu, pemerintah pusat mempunyai kewajiban disamping menjaga keseimbangan vertikal juga menjaga keseimbangan horizontal. Tapi kenyataannya banyak daerah yang sebenarnya kaya tapi kenyataannya miskin, mengapa diperlakukan tidak adil ?.

Terdapat 3 kompinen penting desentralisasi fiskal yaitu Pajak daerah (Tax assignment), Bagi Hasil (Revenue sharing), dan DAU & DAK (subsidy). Pertama, pusat memberikan berbagai jenis pajak kepada daerah. Contoh sederhana pajak kabupaten/kota berupa pajak parkir, hotel , restoran, hiburan dan lainsebagainya. Jika semua kab/kota diberi jenis pajak yang sama, namun tidak semua kabupaten/kota mempunyai atau dapat megumpulkan uang yang sama besarnya. Misalnya kabkota dengan PAD (Pendapatan Asli Daerah) yaitu Kota Surabaya, Kab. Badung, Samarinda, dan lain sebaginya sedangkan ada daerah dengan PAD terendah atau hampir tidak mempunyai karena baru mengalami pemekaran seperti Kab. Maybrat, Kab. Tambrauw, dan lain sebagainya. Ini menunjukan bahwa desentralisasi fiskal dalam bentuk tax assignment bisa mengakibatkan kesenjangan. Setiap daerah memperoleh kewenangan berbagai jenis pajak yang sama tetapi dirupiahkan berbeda. Kurang lebih provinsi juga begitu. Maka, desentralisasi fiskal berupa pemberian pajak daerah tidak mampu untuk memperbaiki horizontal fiscal balance.

Bagaimana dengan bagi hasil pajak ?. bagi hasil pajak adalah pajak penghaslan nasional yang ekmudian dikembalikan ke daerah dimana penghasilan itu diperoleh. Yang dibagihasilkan itu ada banyak misalnya BPHTB, IHH, PSDH, Minyak, PPh, Perikanan, dan lain sebagainya. Tapi bagi hasil pajak juga tidak cukup untuk memperbaiki horizontal fiscal balance, karena yang paling memperoleh alokasi besar adalah daerah penghasil. Misalnya kab/kota yang memperoleh bagi hasil pajak terbesar adalah Kab. Kutai yaitu sekitar 3,6 triliun, oleh karena itu Kab. Kutai mempunyai APBD tinggi karena faktor dana bagi hasil. Ini menunjukan bahwa Badung dan Surabaya kayak arena pajak daerah, Bengkalisdan Kutai kayak arena dana bagi hasil sementara daerah yang lain sangat minimum. Misalnya kabupaten Sabu Rijua hanya menerima dana bagi hasil sebesar 13 miliar, apabila dibandingkan dengan Kabupaten Kutai yang jumlah bagi hasilnya 3,6 triliun, maka akan terlihat disparitas yang sangat tinggi dalam komponen bagi hasil itu.

Hal ini menunjukan bahwa tidak hanya fiskalnya saja yang timpang tetapi ekonominya juga timpang, distribusi investasi PMDN Jawa-Bali dan Sumatra hampir 87 %, jumlah yang cukup mengerikan apbila dibandingkan dengan daerah lain misalnya papua yang hanya 0,7 %. Poinnya adalah bukan hanya kebijakan fiskal yang penting atau bukan hanya negara saja, tetapi disana juga ada swasta. Dana yang dikelola pemerintah daerah dari tahun ketahun di luar Jawa-Bali itu meningkat tidak hanya nominal tapi juga prosentasenya dan APBN yang dikelolan oleh pemerintah di Jawa-Bali itu setiap tahunya relatif sedikit menurun. Poinnya adalah uang negara boleh banyak menggontor ke luar Jawa-Bali , tapi uang swasta tetap saja didominasi di Jawa-Bali. Penting untuk menciptakan suatu equality antar keduanya. Kebijakan fiskal itu harus mampu memperbaiki ketimpangan antar daerah. Yang diharapkan dari sisi fiskal yaitu yang terakhir Subsidi.

Ketiga adalah dana Subsidi yang dimaksudkan untuk memperbaiki ketimpangan fiskal horisontal, mendorong daerah berbuat sesuatu melalui insentif, memperbaiki fiskal vertikal, jamin sustainabilitas fiskal daerah, dan mendukung kebijakan ekonomi makro. Dimana subsidi ini dalam bentuk DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus). Apabila disebut dalam undang-undang jumlah keseluruhan DAU mulai tahun 2008 ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari pendapatan Dalam Negri Neto yang ditetapkan dalam APBN, namun jumlah DAU yang diberikan tidak pernah ditambah hanya mengambil minimalnya saja yaitu 26 %. Jadi kalau misalnya jumlah daerah otonom meningkat, otomatis jumlah pembaginya juga meningkat, dan bagian dari masing-masing daerah menurun. akibatnya subsidi yang fungsinya untuk equality menjadi tidak bermakna.

Subsidi yang diberikan berdasarkan rumusan fiskal gap atau cela fiskal di daerah. Rumusannya adalah apabila daerah mengalami cela fiskal yang besar maka, subsidi yang diberikan juga besar. Cela fiskal merupakan selisi antara kebutuhan fiskal dengan kemampuan fiskal yang ditambah dengan alokasi dasar (data jumlah gaji PNSD). Untuk menghitung jumlah kebutuhan itu mengunakan proxy indikator misalnya mengunakan asumsi jumlah penduduk (jumlah penduduk banyak kebutuhan banyak), luas wilayah, indeks kemahalan konstruksi, dan alian sebagainya. Oleh karena itu ada daerah yang memperoleh DAU dan ada daerah yang tidak meperoleh DAU karena tergantung dari kebutuhan dan kemampuan daerah.

Apabila sebelumnya memang dana DAU diupayakan untuk menutupi kesenjangan horizontal, tetapi memang porsinya sangat sedikit. Bukan hanya kecil porsinya tapi juga kecil penggunaannya, karena hampir 80% DAU digunakan untuk keperluan belanja pegawai, artinya kita mengunakan belanja pegawai itu sangat banyak. Belanja luar jawa meningkat cukup tajam. Hal ini adalah suatu problem yang cukup serius.

Apabila bicara tentang politik desentralisasi fiskal ada isu tentang desentralisasinya yaitu tentang bagaimana keseimbangan fiskal vertikal dan horizontal yang kedua adalah otonominya. Setelah pusat memberikan desentralisasi fiskal kepada daerah, daerah punya otonomi, salah satunya adalah otonomi fiskal. Pertanyaan kemudia adalah bagaimana otonomi fiskal itu digunakan. Tadi sudah diketahui bahwa otonomi fiskal digunakan untuk belanja dan mayoritas adalah belanja pegawai. Belum lagi yang tersisa rentan terhadap kemungkinan penyalagunaan, yaitu biasanya bukan di Mardown, tapi banyak di Mark Up.

Oleh karena itu, penting membicarakan akuntabilitas dalam otonomi. Pemerintah sudah melakukan upaya untuk meningkatkan akuntabilitas, memberantas korupsi dengan cara mencangihkan prosedur. Masalahnya prosedurnya makin ketat diikuti dengan korupsinya masih jalan terus. Prosedurkan di canggikan tetapi juga ada pencangihan siasat yang lebih tingi lagi. Akhirnya adalah voice of the citizen itu penting, akuntabilitas bukan semata-mata dengan memperbaiki sisi supply atau pemerintahnya tetapi juga memperbaiki sisi demandnya yaitu masyarakat juga ikut diperkuat. Memperbaiki prosedur itu sisi pemerintahannya, selanjutnya adalah bagaimana mendorong sisi demandnya tentang hak / right untuk menuntut akuntabilitas.

Sedikit Tanggapan.

Desentralisasi fiskal lebih banyak mengandung tujuan politis ketimbang efisiensi dan pemerataan. Hal ini terbukti dari pertama ketidak efisienan dalam alokasi DAU yang sebagian besar digunakan untuk belaja pegawai dan yang kedua adalah masih terjadi ketimpangan keseimbangan fiskal antardaerah. Bukan desentralisasinya yang salah tapi meletakan dan mengunakan desentralisasi itu yang dilakukan oleh para aparat negara sering tidak seimbang antara public dan pribadi. Mengingat banyak begitu faktor yang berpengaruh pada kebijakan desentralisasi fiskal, tidak mengejutkan hubungan fiskal antarjenjang pemerintahan sering kali bergerak bolah-balik. Antara desentralisasi dan sentralisasi. Pergeseran ke arah praktik-praktik desentralisasi mungkin tampak menguat pada masa tertentu, namun kebijakan itu mungkin diikuti oleh kuatnya kendala-kendala politis dan teknis sehingga akan berbalik ke arah semula. Pertanyaannya adalah apakah memang desentralisasi yang dilakukan selama ini berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, terutama luar Jawa-Bali ?.

Daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alamnya memilih untuk memisahkan diri jika mereka tidak diperbolehkan untuk ikut menikmati penerimaan sumber daya alam di wilayahnya itu merupakan suatu kejelasan. Oleh sebab itu, desentralisasi fiskal penting sebagai instrumen untuk memelihara kesatuan wilayah dan ancaman separatis. Mengerakan investor untuk menginvestasikan modalnya di luar Jawa-Bali merupakan suatu yang Urgent mengingat tidak hanya fiskal saja yang mengambil peran tapi juga economic site nya. Kemudian adalah tugas pemerintah untuk mendorong investasi di luar jawa-bali untuk menyeimbangkan horizontal fiscal balance.

Kemudian soal voice of citizen, memang penting untuk mengawal jalannya pemerintahan. Seharusnya mahasiswa sebagai generasi muda yang berintelektual dan kritis ikut bereran lebih dan mengambil peran untuk mengawasi jalannya pemerintahan dan ikut menuntut akuntabilitas dan trasparansi dari pemerintahan.

No comments:

Post a Comment