October 3, 2011

REVIEW JURNAL Priming Geder: Campaigning on Women’s Issues in U.S Senate Election Brian F. Schaffner American University

 

Gender gap menjadi issu yangs penting dalam pemilihan umum Senat Amerika sejak tahun 1980. Tapi, dalam kebanyakan penjelasan tentang efek dari isu gender dalam perilaku memilih, kebanyakan penjelasan hanya memiliki fokus pada perbedaan antara laki-laki dan perempuan tanpa mengambil fokus pada bagaimana strategi kampanye dapat berfungsi untuk menutupi perbedaan gender ini.

Semenjak pemilihan umum presidensial Amerika tahun 1980, pemilih perempuan telah lebih mungkin untuk mendukung kandidat secara demokrasi karena preferensi yang dimiliki masing-masing kandidat ataupun isu-isu khusus yang dibawa, biasanya disebut sebagai isu perempuan, dimana lebih liberal daripada isu yang dipegang oleh laki-laki (Conway, Steurnagel, dan Ahern 1997; Kaufmann dan Petrocik 1999; Piven 1985 ; Shapiro dan Mahajan 1986). Namun, dalam pemilihan umum dukungan perempuan untuk kandidat sangat bervariasi , hal ini menunjukkan bahwa pengaruh gender mungkin tergantung pada bagaimana isu-isu perempuan digunakan dalam agenda kampanye. Dan jika isi dari isu yang dibawa kandidat berpengaruh terhadap pemilih perempuan, ini berarti kandidat memiliki tindakan strategis dalam menentukan apakah akan memusatkan perhatian pada isu-isu perempuan ketika mengembangkan pesan kampanye mereka.

Terkait dengan peranan strategi kampanye dalam mempengaruhi pengaruh gender pada perilaku pemilih, terdapat beberapa pertanyaan yang diajukan penulis. Pertama, apakah calon bertindak secara strategis untuk target pemilih perempuan dengan pesan-pesan kampanye yang dibawa calon?. Penulis berpendapat bahwa keputusan kampanye menampilakan isu gender atau tidak melibatkan banyak ketidakpastian. Ketidakpastian ini dapatdijelaskan dalam dua factor. Pertama adalah kandidat mungkin dapat belajar, apakah menyeruhkan isus gender dapat memberikan manfaat atau malah berbahaya, dari observasi bagaimana isu gender gap berpengaruh dalam kampanye-kampanye yang lalu. Kedua, kandidat juga dapat melakukan pembatasan terhadap isu yang difokuskan dalam daerah pemilihan, sehingga para kandidat dapat lebih fokus pada isu-isu perempuan ketika mereka adalah prioritas dalam daerah pemilihan tertentu.

Journal ini penulis mulai dengan diskusi tentang mengapa ukuran kesenjangan gender cenderung bervariasi dalam pemilu dan bagaimana kandidat bertindak strategis dalam memutuskan target pemilih perempuan. Kemudian penulis berahli ke analisis strategi iklan dan keputusan memilih. Penulis mengambil kesimpulan dengan membahas implikasi dengan mengunakan bukti yang mengindikasikan bahwa kandidat tidak hanya bertindak secara strategis ketika memutuskan apa dan bagaimana dalam menarget pemilih perempuan, tetapi juga berimplikasi pada dunia kerja. Pada akhirnya, pengaruh gender dalam perilaku memilih menunjukan hasil tidak hanya dari adanya perbedaan kebijakan antara perempuan dan laki-laki, tetapi juga karena keputusan strategis yang dibuat oleh kandidat yang menentukan apakah akan memusatkan pada isu-isu tersebut atau tidak.

 

Women, the Gender Gap, and Campaign Strategies

Sejak pemilihan presidesialn 1980, perempuan memiliki suara yang lebih demokratis dan lebih mungkin untuk berafiliasi dengan Partai Demokrat daripada laki-laki (Conover 1988; Kaufmann dan Petrocik 1999; Norrander 1997). Karena kesenjangan gender suda mulai muncul pada tahun 1980, beberapa ahli menegaskan bahwa Partai Republik menolak mengamandemen Equal Rights , platform anti-aborsi, meskipun yang lainnya telah menolak keputusan ini. Hal ini lah salah satu penyebab sura perempuan lebih mempunyai afiliasi kepada Partai Demokrat.

Beberapa penelitian juga menunjukan bahwa kesenjangan gender tidak terlalu terkait dengan perubahan dalam prefensi perempuan daripada yang dilakukan dalam gerakan laki-laki, khususnya laki-laki daerah selatan, yang menjahui Partai Demokrat. (Kaufmann dan Petrocik 1997; Kenski 1988; Norrander 1999; Wirls 1986). Menurut penjelasan ini, laki-laki yang memiliki sifat konservatif telah berpindah partai dalam beberapa tahun terakhir dengan membawa afiliasi mereka kedalam suatu garis dengan ideology konservatif mereka, sehingga banyak yang menjahui partai demokrat. Sedangkan perempuan tidak mungkin untuk terpengaruh pandangan konservatif ini, sehingga mereka tetap dalam partai democrat selama periode yang sama.

Terlepas dari sumbernya, kesenjangan gender telah memainkan peran penting dalam pemilu nasional dan tingkat daerah selama seperempat abad. Namun, selama ini ukuran dan pentingnya kesenjangan gender sangat bervariasi. Dalam kontes pemilihan presidensial sejak tahun 1980, kesenjangan gender memiliki pengaruh 4% pada tahun 1992, dan meningkat menjadi 16% pada tahun 1996. Ukuran kesenjangan gender tidak hanya bervariasi dari waktu ke waktu, tetapi juga di pemilu yang diadakan dalam tahun yang sama.

Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh gender pada keputusan pengambilan suara mungkin terpengaruh oleh kampanye yang dilakukan. Jika isu gender dalam suatu kampanye memiliki peran penting dalam pengambilan keputusan, kandidat dapat bertindak secara strategis untuk mempengaruhi pemilik suara.

Dalam merumuskan strategi yang digunakan, para kandidat secara rasional mempertimbangakan bagaimana menggunakan sumberdaya yang terbatas secara efisien dengan berfokus pada mencapai suatu kemenangan (Simon 2002). Terdapat dua factor iyang penting dalam menentukan hal ini, pertama adalah, calon harus dapat mengidentifikasi segmen pemilih yang paling rentan terhadap pengaruh kampanye. Kedua, setelah calon telah mengidentifikasi pemilih tersebut, para kandidat harus menentukan pesan yang akan dibawah dalam tujuan memenangkan suara pemilih tersebut.

Deciding to Target Women

Kandidat dapat mengunakan beberapa pertimbangan dalam menentukan kelompok pemilih perempuan untuk dijadikan target selama kampanye. Pertama, perempuan memiliki persentasi yang lebih besar dibandingkan laki-laki. Pada tahun 2000, wanita menyumbang sekitar 56% suara, sementara itu laki-laki menyumbang 53 % suara. Hal ini berarti bahwa ada setidaknya hampr delapan juta lebih pemilih perempuan dibandingkan pemilih laki-laki. Kedua, perempuan kurang dapat menentukan dengan pasti kandidat mana yang akan dipilih sampai sebelum pemilihan, hal ini membuat perempuan lebih rentan terhadap pengaruh kampanye. Dengan demikian, perempuan menjadi bagian penting dalam strategi kampanye para kandidat, hal ini tidak hanya karena mereka mempunyai persentase jumlah lebih besar dari pada laki-laki, namun juga lebih mudah untuk dipengaruhi dan di jadikan target kampanye.

Namun, permasalahannya adalah kandidat memperoleh ketidakpastian dan ketidakmampuan untuk mengetahui bagaimana strategi yang digunakan untuk mempengaruhi pemilih perempuan sehingga berdampak pada hasil. Memang, jika kita menganggap bahwa laki-laki dan perempuan memiliki suara yang sama, kesenjangan gender 10% dapat menyebabkan hasil yang sangat berbeda. Faktanya memang suaa perempuan cenderung dapat memberikan perbedaan. Dengan demikian, kesenjangan gender tidak selalu berarti kemenangan untuk kandidat demokrat atau kekalahan kandidat republik. Jika demokrat memilih target pemilih perempuan, tapi pada saat yang sama pemilih laki-laki sebagian pergi, ini berarti setiap keuntungan yang diperoleh dari pemilih perempuan mencerminkan juga kerugian yang serupa dengan kepergian pemili laki-laki. Ternyata partai democrat mampu menargetkan suara dari perempuan tanpa kehilangan suara laki-laki. Democrat mengunakan startegi yang memanfaatkan gender gap untuk kampanyenya. Disamping itu, kandidat mencari informasi tentang strategi yang akan digunakan apakah dapat berhasil hal ini untuk meminimalisasikan ketidakpastiannnya dalam menargetkan suara perempuan.

Dengan demikian, calon dapat mengubah strategi yang digunakan dalam mengunakan isu kesenjangan gender yang ada untuk mempengaruhi pemilih, dan tentu saja dengan memperhatikan pemilihan sebelumnya. Ketika sebuah strategi kampanye telah efektif di masa lalu, ini menunjukan kemungkinan yang tinggi bahwa strategi tersebut akan sukses di masa depan. Perlu juga diketahui bahwa status gender yang dimiliki kandidat itu sendiri juga dapat mempengaruhi ketidakpastian dalam menarik atau mempengaruhi suara perempuan. Memang, kandidat perempuan dapat lebih yakin untuk menarik lebih banyak suara perempuan daripada laki-laki (Ansolabehere dan Iyengar 1994; Dabelko dan Herrnson 1997; Kahn 1993). Di sisi lain, efek ini mungkin juga tergantung dari afiliasi partai kandidat.

 

Priming Women's Issues

Langka kedua adalah menentukan seberapa efektifkah strategi yang digunakan untuk memenakngkan suara pemilih. Terlebih dahulu terdapat beberapa debat tentang apakah seruan tentang isu-isu gender selama kampanye mempengaruhi hasil dari pemilihan (Bartels 1992), bukti lain bahwa kampanye berfungsi untuk mengaktifkan kecenderungan dan mempengaruhi bagaimana warga menentukan pilihannya (Finkel 1993; Iyengar dan Kinder 1987). Melalui agenda-setting yang digunakan, kampanye dapat mempengaruhi warga negara untuk mempertimbangkan beberapa isu penting daripada fokus terhadap isu yang lain dalam iklan dan cakupan kampanye (McCombs dan Shaw 1972; Iyengar dan Kinder 1987; Weaver 1981; Barat 2001). Sebagai contoh, pada tahun 1992 kampanye presiden Clinton berhasil menekankan warganegara pada masalah ekonomi, hal ini karena warga negara dihadapkan dalam kondisi ekonomi yang lemah sehingga warga negara harus mengevaluasi kandidat tersebut. Clinton diuntungkan dengan memiliki masalah ekonomi yang prima dalam pemilih tersebut.

Jika perempuan sudah menjadi target dalam strategi kandidat partai democrat untuk keberhasilannya dalam pemilu terakhir, hal ini karena kandidat partai Demokrat menggunakan kampanye mereka untuk mempromosikan isu yang terdapat dalam agenda kampanyenya untuk menarik lebih banyak dukungan dari perempuan dan menciptakan kesenjangan gender yang besar untuk menguntungkan mereka. Di sisi lain, Partai Republik mungkin mencoba untuk meminimalkan efek seperti ini dengan menarik perhatian dari masalah tersebut dan mengemas isu-isu dimana terdapat perbedaan gender yang lebih kecil.

Tapi masalah yang mana yang paling mungkin untuk menarik suara perempuan kedalam calon Demokrat dan jauh dari Republik? Kebanyakan sarjana setuju bahwa kesenjangan gender sebagian besar disebabkan oleh perbedaan dalam sikap laki-laki dan perempuan pada suatu isu, terutama yang behubungan dengan kebijakan dalam kesejahteraan sosial (Conway, Steurnagel, dan Ahern 1997; Kaufmann dan Petrocik 1999; Piven 1985; Shapiro dan Mahajan 1986). Disini penulis fokus pada isu-isu pendidikan, anak, dan kesehatan dan mengacu pada isu-isu perempuan yang lain. Kandidat cenderung untuk mempertimbangkan pentingnya isu-isu perempuan dalam dua alas an. Pertama, masalah ini menjadi prioritas bagi para pemilik suara sebagai dasar untuk menilai calon (Koch 2002a). Sebagai contoh, penelitian tahun 2000 yang dilakukan oleh VNS Exit Poll menunjukan bahwa karena wanita lebih cenderung terpengaruh oleh isu-isu yang berkaitan dengan pendidikan, kesehatan, dan perawatan anak, mereka cenderung untuk menempatkan perhatian yang lebih tinggi pada isu-isu tersebut. Alasan yang kedua adalah strategi yang dilakukan kandidat dengan mengambil isu-isu perempuan akan mengambil peranan penting dalam menarik suara perempua.

Mengingat isu-isu pada gender gap itu penting, kandidat partai democrat meningkatkan fokus mereka pada masalah-masalah gender gap salah salah satunya kesejahteraan sosial. Strategi ini dapat meningkatkan dukungan mereka di antara perempuan yang lebih mungkin untuk mendukung posisi Partai Demokrat. Pelajaran yang didapat adalah bahwa masyarakat bukanlah sebuah kekosongan, calon harus memperhatikan prioritas isu pemilih ketika mengembangkan strategi kampanye mereka.

 

Result of Analyzing Campaign Advertising Strategies

Koefisien pengaruh biaya iklan merupakan suatu arah yang diharapkan, tetapi tidak memiliki signifikansi statistik. Di sisi lain, koefisien untuk penggalangan dana kandidat adalah signifikan dan positif, menunjukkan bahwa calon yang lebih banyak uang lebih mungkin untuk menjalankan iklan. Akhirnya, jangkauan pasar dan daya saing dari kampanye juga mempengaruhi kemungkinan kemampuan kandidat untuk beriklan. Calon lebih mungkin untuk beriklan pada daerah dengan cakupan yang lebih besar dari populasi negara dengan kompetisis yang sangat kompetitif ketika kampanye.

Variabel kunci mengukur sejauh mana kandidat dapat menyesuaikan strategi mereka adalah berdasarkan berbagai sumber informasi yang diperoleh. Para kandidat senat melakukan berbagai pertimbangan untuk memprioritaskan masalah penduduk saat merumuskan strategi iklan mereka. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa untuk setiap 1% dari sekeompok responden mengatakan bahwa perempuan adalah salah satu masalaha yang paling penting yang dihadapi negara ini, masing-masing kandidat lebih memfokuskan iklan mereka pada isu-isu tersebut. Efek ini sangat kuat dan menunjukkan bahwa calon sangat antusias untuk membahas isu-isu yang menjadi perhatian pemilih potensial ini.

Analisis ini menunjukkan bahwa calon Senat bertindak secara strategis ketika membuat keputusan tentang fokus iklan yang akan dibuat. Yang ptnting adalah pengaruh dari prioritas isu . Dengan cara ini, calon mencoba untuk mencocokkan pesan yang mereka bawah kepada apa yang pemilih inginkan. Tetapi juga dengan belajar dari kampanye pada masa lalu. strategi iklan yang dilakukan Partai Demokrat dan Republik berbeda pada penentuan isu kesenjangan gender yang digunakan pada seluruh negara bagian. Dalam konteks ini, Demokrat lebih fokus pada isu-isu perempuan, sementara Partai Republik berusaha untuk mengarahkan perhatian pemilih di tempat lain. Iklan yang dilakukan Republik sebagian besar muncul untuk mengalihkan fokus mereka terhadap isu-isu yang lebih penting untuk pemilih laki-laki atau mereka tidak fokus pada isu-isu kebijakan sama sekali.

Pergeseran fokus republik sebagian besar berpusat pada tiga topik yang berbeda. Pertama, ketika sebuah kesenjangan gender telah berperan penting dalam kampanye sebelumnya, hampir 20% dari iklan kandidat Partai Republik berfokus pada topik-topik non-kebijakan seperti kepercayaan, kepribadian, dan moralitas. Perbedaan substansial menunjukkan bahwa ketika Republik percaya bahwa mereka berada pada posisi yang kurang menguntungkan pada isu-isu perempuan, strategi yang mereka gunakan malah menghindari isu-isu kebijakan, bukannya memilih untuk melakukan persaingan yang didasarkan pada nilai-nilai atau karakteristik pribadi mereka. Dengan berfokus pada personality daripada kebijakan, Partai Republik mungkin berharap untuk menghindari topik yang akan menjauhkan perempuan dari mereka.

Ketiga, Partai Republik muncul dengan fokus mereka pada topik kejahatan yang isu ini belum menentukan secara significant kemudian. Strategi ini mungkin didorong oleh fakta bahwa perempuan cenderung lebih takut kejahatan daripada laki-laki dan Republik sering dilihat sebagai pihak yang lebih mampu menangani masalah ini (Petrocik 1996). Dengan memfokuskan perhatian lebih pada kejahatan, Partai Republik mungkin lebih cocok untuk bersaing untuk pemilih perempuan. Di sisi lain, strategi ini juga ditujukan untuk para pemilih laki-laki karena laki-laki cenderung lebih mendukung pendekatan hukuman untuk kejahatan yang dilakukan oleh Partai Republik daripada pendekatan pencegahan oleh perempuan (Hurwitz dan Smithey 1998).

 

Result of Campaign Focus and the Effect of Gender on Vote Decisions

Temuan ini menunjukkan bahwa kampanye dapat mempengaruhi peran gender pada suara bahkan ketika mengontrol untuk mempengaruhi afiliasi partai dan faktor sosial ekonomi lainnya. Lebih penting lagi, strategi untuk berfokus pada isu-isu perempuan muncul untuk mempengaruhi pilihan suara perempuan tetapi tidak laki-laki. Temuan ini tidak sepenuhnya mengherankan mengingat bahwa laki-laki cenderung membuat pikiran mereka lebih awal dan kurang mungkin dipengaruhi oleh kampanye. Namun demikian, hal ini menunjukkan bahwa kandidat Partai Demokrat tidak perlu mempertimbangkan potensial trade off antara memenangkan suara perempuan dengan mengorbankan suara laki-laki.

 

Conclusion

Analisis penulis menunjukkan bahwa calon dalam menentukan apa dan bagaimana menargetkan pemilih perempuan itu dengan menggunakan berbagai informasi yang tersedia untuk mengurangi ketidakpastian dalam penentuan isi pesan kampanye yang dibawah. Meskipun keputusan strategis yang dibuat selama kampanye memiliki suatu konsekuensi yang tidak tentu, terdapat dua cara untuk menyikapi krtidakpastian tersebut. Pertama, kandidat belajar dari kampanye masa lalu untuk memahami strategi apa yang cocok atau tidak cocok dalam pemilu tersebut. Hal ini tergantung pada apakah isu kesenjangan gender telah menentukan dalam kampanye di seluruh negara bagian sebelumnya. Calon juga harus menargetkan apakah mereka harus menargetkan pemilih perempuan. Kedua, kandidat tampaknya sangat baik untuk memahami masalah yang dihadapi oleh pemilih untuk dimuat dalam ikaln kampanye mereka. Dengan demikian, calon tampaknya sangat responsif terhadap isu utama pemilih ketika merumuskan agenda kampanye mereka sendiri.

Pada akhirnya, pemahaman keputusan-keputusan strategis dan konsekuensi dari pilihan mereka memberikan pengertian dalam memahami kesenjangan gender. Alih-alih bertindak sebagai kekuatan tetap dalam pemilihan Amerika, pengaruh gender pada keputusan suara tampaknya akan dipengaruhi oleh pilihan strategis-alergi yang dibuat oleh calon. Sementara perbedaan gender ada pada berbagai isu, ada isu-isu perempuan dan laki-laki yang memiliki preferensi yang serupa. Akhirnya, fakta bahwa calon memperhitungkan pemilih perempuan ketika mereka merumuskan strategi-strategi kampanye dengan mempertimbangkan keberhasilan gerakan perempuan yang mereka bawa.

 

 

Untuk mendapatkan Jurnal Internasionalnya sebelum saya Review silakan download dibawah ini.
Priming Geder Campaigning on Women’s Issues in U.S Senate Election

No comments:

Post a Comment